Kota Pekanbaru (ANTARA) - Sesal dahulu pendapatan, sesal kemudian tiada guna. Begitu penyesalan F (29), penderita Human Immunodefiency Virus di Kota Pekanbaru, Provinsi Riau, sekaligus mimpi buruknya sejak 2012 dinyatakan positif terpapar HIV.

Ia dinyatakan positif terpapar penyakit yang menyerang kekebalan tubuh itu setelah tiga kali melakukan tes HIV di rumah sakit.

Saat tes pertama kali, dirinya dinyatakan negatif. Penasaran dengan hasil itu, ia pun tetap melakukan tes ulang dan lagi-lagi dokter menyatakan negatif HIV.

Namun, saat tes ketiga kali semua berubah. Ia dinyatakan positif terpapar HIV. Trauma pun mulai menggelayutinya.

"Ketika aku dinyatakan oleh dokter positif HIV, aku sedih dan menangis sejadi-jadinya. Bahkan keluarga dan saudara-saudaraku pun awalnya tidak menerima keberadaanku dan mengasingkanku selama dua tahun karena mereka takut kalau penyakit ini akan menular ke mereka juga," katanya.

Baca juga: Menkes RI : HIV/AIDS bisa ditekan dengan rutin konsumsi Antiretroviral

Penolakan terhadap dirinya di keluarga, membuat F semakin sedih, malu, dan kehilangan kepercayaan diri. Ia menarik diri dari kehidupan sosial, bahkan menyembunyikan statusnya di masyarakat.

Namun, setelah bergabung di Sebaya Lancang Kuning, F menemukan semangat hidupnya kembali karena yayasan ini siap mendampingi para ODHA (Orang Dengan HIV AIDS) yang butuh bimbingan dan memotivasi hidup.

"Untuk sekarang saya sudah menerima apa yang Tuhan takdirkan untuk saya, saya mencoba ikhlas dan menjalani hidup saya dengan melakukan hal-hal positif dan selalu memotivasi hidup saya untuk tetap bisa hidup sehat dan normal seperti mereka yang tidak terkena HIV,” katanya.

Human Immunoseficiency Virus merupakan virus yang merusak sistem kekebalan tubuh, dengan menginfeksi dan menghancurkan sel CD4. Semakin banyak sel CD4 dihancurkan, kekebalan tubuh semakin lemah, sehingga rentan berbagai penyakit.

Sesal dahulu pendapatan, sesal kemudian tiada guna, sepertinya tidak berlaku lagi bagi F dan penyakit yang menjadi momok menakutkannya. Saat dinyatakan positif HIV, ia pun langsung memvonis dirinya kalau tidak akan hidup dalam waktu lama. Sepengetahuannya waktu itu, orang terkena HIV pasti memiliki umur pendek.

Ubah
Kalangan praktisi kesehatan, orang tua, bahkan ulama pun menganjurkan ODHA mengubah pola hidup menjadi lebih baik lagi dengan melakukan hal-hal positif dan bermanfaat bagi kehidupan dan kesehatan mereka.

Bagi ODHA yang hiperseks atau berperilaku seksual menyimpang dianjurkan bertobat, lebih mendekatkan diri kepada Tuhan, dan meninggalkan perilaku buruk yang dapat merusak hidupnya.

"Sebaiknya ODHA harus banyak diberikan pemahaman mengenai ajaran-ajaran agama agar bisa bertobat, dan menjauhi perilaku buruk, seperti seks bebas, gay, narkoba, dan lainnya. Sebab perilaku menyimpang tersebut salah satu perbuatan yang dilarang oleh agama, terutama agama Islam," kata pemuka agama di daerah itu, Ustadz Arif Kurniawan.

Baca juga: MUI usulkan materi kutbah terkait pencegahan penyebaran HIV/AIDS

Islam melarang umatnya berzina, karena zina salah satu dosa besar yang dapat merugikan pelakunya. Apalagi, untuk para gay dan waria, Allah SWT sangat melaknat orang-orang yang berperilaku seksual dengan sesama jenis sebagaimana pernah dikisahkan pada kaum Nabi Luth dalam Al Quran, Surat Al-A’raf ayat 80 dan Hadist yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad (2915).

Allah melaknat siapa saja yang berbuat seperti perbuatan kaum Nabi Luth. Allah melaknat siapa saja yang berbuat seperti kaum Nabi Luth. Beliau sampaikan sebanyak tiga kali (Dihasankan Syaikh Syu’aib Al-Arna’uth).

Sebaiknya pemerintah dapat mengatasi masalah perilaku seksual bebas dan menyimpang agar tidak ada lagi korban terkena paparan virus mematikan itu.

"Semoga pemerintah bisa mengatasi kasus ini, terutama di Kota Pekanbaru supaya tidak ada lagi korban yang bertambah dan generasi selanjutnya, terutama anak cucu kita nanti bisa terbebas dari HIV/AIDS ini," kata dia.

Dampingi
Lancang Kuning Support Group, salah satu lembaga swadaya masyarakat, menyediakan pelayanan pendampingan terhadap ODHA supaya mereka memiliki tempat berbagi permasalahan dan dukungan terhadap sesama ODHA.

"Kami selalu siap memberikan dukungan psikososial untuk ODHA karena itu adalah tujuan utama kami, karena biasanya para ODHA memiliki masalah dalam hal biologis (kesehatan), psikologis, serta masalah sosial yang terkait mengenai penerimaan masyarakat terhadap keberadaan mereka sebagai ODHA,” kata Ketua Yayasan Sebaya Lancang Kuning, Rozi Asnita.

Lancang Kuning Support Group dibentuk atas dasar kepedulian terhadap nasib ODHA yang dominan kehilangan kepercayaan diri dan menarik diri dari lingkungan. Lembaga itu didirikan pada 2005.

Yayasan Sebaya Lancang Kuning kini memiliki 20 relawan tersebar di berbagai kabupaten dan kota, seperti Kota Pekanbaru, Kota Dumai, Kabupaten Rokan Hilir, dan Kabupaten Bengkalis.

Hingga Juni 2019, yayasan tersebut sudah mendampingi 1.846 ODHA yang terdiri atas 1.306 laki-laki dan 540 perempuan. Mereka berasal dari Kabupaten Inderagiri Hilir, Kabupaten Rokan Hilir, Kota Dumai, dan Kota Pekanbaru.

Berdasarkan data ODHA sampai Juni 2019, menurut tipe penyakit, tercatat lelaki seks lelaki (LSL) menduduki angka tertinggi, mencapai 658 orang, pelanggan wanita pekerja seks langsung (WPSL) 393 orang, pasangan risiko tinggi (risti) 387 orang, pelanggan wanita pekerja seks tidak langsung (WPSTL) 100 orang.
​​​​​​​
Selain itu, pengguna narkoba suntik 49 orang, WPSTL 47 orang, waria 39 orang, WPSL 30 orang, pasangan pengguna narkoba suntik 16 orang, dan pelanggan waria empat orang.

Saat ini, LSL menduduki peringkat pertama, yaitu 658 orang, tertinggi di Kota Pekanbaru 562 orang, disusul Kota Dumai 36 orang, Kabupaten Inderagiri Hilir 31 orang, dan Kabupaten Rokan Hilir 29 orang.

Dinas Kesehatan Kota Pekanbaru mencatat pada periode Januari-Agustus 2019 penderita HIV dan Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) 176 orang, yang terdiri atas 153 orang HIV dan 23 orang AIDS

"Dengan rentang usia penderita balita, remaja, dewasa, dan lansia,” kata Kepala Seksi Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Dinkes Kota Pekanbaru Surya Delfiaria.

Penderita HIV/AIDS lebih banyak berusia 25-49 tahun ke atas karena usia produktif yang rentan terkena virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh tersebut.

Berdasarkan data sejak 2000-Desember 2018, secara kumulatif HIV tercatat 1.561 orang dan meninggal dunia 16 orang, sedangkan AIDS 1.455 orang dan meninggal dunia 166 orang. Total penderita HIV/AIDS periode itu tercatat 3.016 orang, sedangkan 2.334 orang berasal dari penderita usia 25-49 tahun.

Perempuan paling banyak terkena HIV/AIDS adalah ibu rumah tangga. Tercatat sampai akhir Desember yang lalu 303 ibu rumah tangga positif HIV/AIDS, sedangkan penjaja seks 270 orang.

Baca juga: Kudus berkomitmen wujudkan zero HIV/AIDS 2030

Yayasan Sebaya Lancang Kuning mencatat penderita HIV/AIDS paling banyak oleh Lelaki Seks Lelaki (LSL) atau dikenal dengan kaum gay mencapai 658 orang. Mereka berasal dari Kabupaten Indragiri Hilir 31 orang, Kabupaten Rokan Hilir 29 orang, Kota Dumai 36 orang, dan Kota Pekanbaru 562 orang.

Rozi Asnita menyebut LSL lebih rentan terkena HIV tetapi banyak dari mereka tidak menyadari.

Penelitian yang dimuat dalam International Journal of Epidemiology mengungkapkan bahwa tingkat risiko penularan HIV lewat seks anal lebih besar 18 persen daripada penetrasi vagina.

Pasalnya, vagina memiliki banyak lapisan yang bisa menahan infeksi virus, sedangkan anus hanya memiliki satu lapisan tipis. Selain itu, anus juga tidak memproduksi lubrikan alami seperti vagina sehingga memungkinkan terjadinya luka atau lecet. Ketika penetrasi anal dilakukan pun lebih tinggi dan inilah yang bisa menyebarkan infeksi HIV.

“Biasanya LSL ini jarang yang menggunakan kondom pada saat berhubungan seks karena mereka merasa aman jika berhubungan seks dengan laki-laki tanpa takut berisiko hamil. Selain itu, mereka juga tidak menyadari jika anus atau dubur memiliki banyak kuman yang memicu virus HIV,” kata Rozi.

Virus HIV disebut dia tidak bisa dilihat secara langsung oleh indera pengelihatan, bahkan biasanya penderita HIV memiliki fisik sama seperti orang sehat lainnya.

Maka dari itu, sulit membedakan penderita HIV dengan yang tidak, sehingga banyak pelanggan seks tidak mengetahui bahwa pasangannya terinfeksi HIV.

"Para pelanggan seks ini biasanya hanya melihat fisik dari pekerja seksnya saja. Bahkan, banyak dari mereka beranggapan jika pekerja seks itu berpenampilan cantik dan bersih, mereka beranggapan pasangannya tersebut tidak mungkin HIV. Maka itulah yang menjadi salah satu pemicu virus HIV bisa terbawa ke dalam rumah tangga atau keluarga,” katanya.

Dukungan psikososial
Saat ini, ODHA membutuhkan dukungan psikososial untuk meningkatkan kualitas hidupnya karena hingga saat ini masih banyak mereka yang bermasalah terhadap psikososialnya.

"Memberikan dukungan psikososial untuk ODHA adalah tujuan utama kami karena biasanya para ODHA memiliki masalah dalam hal biologis (kesehatan), psikologis, serta masalah sosial yang terkait mengenai penerimaan masyarakat terhadap keberadaan mereka sebagai ODHA,” kata Ketua Yayasan Sebaya Lancang Kuning, Rozi Asnita.

Keberadaan ODHA masih sebagai stigma yang berdampak peningkatan diskiriminasi terhadap penderita. Hal itu, membuat ODHA cenderung menarik diri dari lingkungan dan tidak mau bersosialisasi.

Baca juga: KPA Papua bagikan 1.000 buku tabungan untuk relawan HIV/AIDS

Oleh karena stigma sosial yang mengecam kaum LGBT dan kasus HIV sebagai penyakit kaum gay, banyak yang merasa takut memeriksakan diri ke fasilitas kesehatan.

Begitu pula diskriminasi sosial, membuat penderita HIV, khususnya komunitas seperti LSL dan waria, malas datang ke tempat pelayanan kesehatan ketika ingin tes, karena merasa selalu diintimidasi.

"Tidak semua layanan ramah terhadap teman-teman komunitas begitu pun dengan kawan lainnya. Tak jarang ada beberapa pihak tenaga kesehatan yang kurang menghargai nilai-nilai yang dianut oleh pasien, terutama LSL dan waria," katanya.

Hingga saat ini, Dinas Kesehatan Kota Pekanbaru terus berusaha membuat program tentang peningkatan pelayanan kesehatan di daerah itu agar ramah terhadap komunitas ODHA.

Jangan jauhi
Relawan Lancang Kuning Support Group Hertin Setyowati mengimbau masyarakat jangan menjauhi ODHA, karena mereka membutuhkan dukungan orang-orang terdekatnya. Penyakit ini tidak akan mudah menular apabila orang menjalani pola hidup sehat.

"Mari bantu mereka untuk mengembalikan kepercayaan diri dan memberikan motivasi agar bisa terus bertahan hidup. Jangan jauhi orangnya tapi jauhi penyakitnya," katanya.

Walaupun penyakit HIV/AIDS tidak bisa disembuhkan, ODHA bisa tetap bertahan hidup dengan catatan rutin meminum obat, melakukan pengobatan rutin, serta selalu memeriksakan kesehatan di posko pelayanan yang disediakan pemerintah.

Baca juga: Penderita HIV/AIDS di Tulungagung terus bertambah

Kalangan ODHA mengeluh sering diintimidasi ketika berobat di beberapa layanan kesehatan. Hal itu mengakibatkan mereka malas memeriksakan diri. Dampak bagi yang terjangkit HIV, makin terdorong ke status penyandang AIDS.

"Ada beberapa layanan yang petugasnya kurang ramah ketika kami ingin memeriksakan kesehatan. Seringkali kami mendapatkan pertanyaan-pertanyaan yang mengintimidasi sehingga banyak dari teman-teman yang malas untuk melakukan tes HIV,” kata F.

Pertanyaan yang dihadapi kawan-kawan F, terutama di komunitas LSL dan waria, saat memeriksakan kesehatannya terkesan cenderung menyalahkan mereka, seperti "Berapa kali berhubungan seks dalam seminggu? "Kenapa jadi homo?" "Kenapa jadi waria?" "Kapan tobatnya?"

Oleh karena pertanyaan-pertanyaan seperti itulah membuat mereka menjadi malas datang kembali ke tempat pelayanan kesehatan.

Namun, diakuinya masih ada petugas kesehatan di daerah itu yang ramah terhadap ODHA dalam memberikan pelayanan kesehatan.

Pelayanan petugas kesehatan yang ramah dan dukungan lingkungan masyarakat sekitar, tentu berarti penting bagi penderita ODHA yang sedang menjalani kehidupan dalam semangat bertobat.

Baca juga: Perhatian keluarga dibutuhkan agar ODHA mampu bertahan
Baca juga: Konferensi Internasional AIDS Jayapura hasilkan 11 butir kesimpulan
Baca juga: Praktisi minta penanganan HIV/AIDS melalui pendekatan budaya ​​​​​​​