Jakarta (ANTARA) - Peneliti Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Fajar Hirawan mendorong percepatan dan perbaikan sejumlah indikator dalam reformasi struktural untuk menahan perlambatan pertumbuhan ekonomi.

"Masih banyak pekerjaan rumah yang perlu segera dikebut realisasinya," katanya di Jakarta, Jumat.

Menurut dia, pemerintah perlu menggenjot realisasi untuk meningkatkan daya saing setelah World Economic Forum (WEF) mengeluarkan laporan penurunan daya saing Indonesia pada posisi 50.

Meski daya saing Indonesia menurun lima peringkat, doktor ilmu ekonomi dari Universitas Sidney, Australia, itu mengatakan bukan berarti kinerja pemerintah buruk dalam membenahi daya saing.

Namun, lanjut dia, negara lain diperkirakan lebih cepat melaju dalam merealisasikan peningkatan daya saing dan produktivitas.

Baca juga: CSIS katakan Indonesia bisa manfaatkan peluang resesi ekonomi

"Pemerintah sudah memiliki visi yang bagus, khususnya terkait dengan pengembangan sumber daya manusia, tapi realisasinya masih kurang cepat dan masif," imbuh alumni Universitas Indonesia itu.

Perbaikan dalam daya saing tenaga kerja khususnya di antara negara ASEAN, kata dia, juga perlu dilakukan agar lebih kompetitif terutama akibat Undang-Undang Ketenagakerjaan yang dianggap masih kaku, misalnya terkait uang pesangon.

Fajar juga mendorong perbaikan dalam reformasi struktural terkait industrialisasi.

Ia mengharapkan agar kebijakan hilirisasi tidak perlu dipaksakan karena masih belum menunjukkan hasil.

Sebaliknya, peneliti muda itu mendorong agar hilirisasi yang bertujuan meningkatkan nilai tambah dari barang dan jasa yang dihasilkan, seharusnya disertai dengan penetrasi pasar baru.

"Selain itu, Indonesia harus lebih aktif dalam jaringan produksi global, sehingga kita turut dalam rantai nilai global," katanya.

Peneliti sekaligus akademisi itu juga mendorong pembenahan ekonomi digital yang dinilai masih banyak regulasi dan tumpang tindih serta praktik persaingan tidak sempurna atau oligopoli terkait sistem gerbang pembayaran.

Baca juga: Kadin harap tim ekonomi baru lanjutkan komunikasi dengan dunia usaha

"Hal ini perlu segera dibenahi agar potensi ekonomi digital dapat betul-betul nyata serta terkait akses pembiayaan, masih banyak UMKM yang belum mendapatkan akses mumpuni," ucapnya.

Sebelumnya, Bank Dunia merilis laporan pertumbuhan ekonomi negara-negara berkembang di Asia Timur dan Pasifik yang diproyeksikan melambat dari tahun 2019-2021.

Menurut laporan Weathering Growing Risk, perlambatan pertumbuhan ekonomi terjadi dari 6,3 persen pada tahun 2018 menjadi 5,8 persen pada 2019, kemudian 5,7 dan 5,6 persen masing-masing tahun 2020 dan 2021.

Laporan itu menyebut perang dagang Amerika Serikat dan China menjadi salah satu biang melambatnya ekonomi global yang berimbas penurunan ekspor dan pertumbuhan investasi.

Untuk menghadapi risiko itu, negara di kawasan itu masih memiliki ruang untuk mengambil langkah-langkah fiskal dan atau moneter untuk membantu merangsang ekonomi sambil menjaga kesinambungan fiskal dan utang.

Laporan itu juga mendorong negara di kawasan melakukan reformasi agar produktivitas mereka meningkat dan mendorong pertumbuhan, termasuk reformasi peraturan yang meningkatkan iklim perdagangan dan investasi.
Baca juga: Menkeu pastikan penusukan Wiranto tak pengaruhi ekonomi RI