Jakarta (ANTARA) - Masyarakat Indonesia digemparkan dengan adanya penusukan terhadap Menko Polhukam Wiranto usai melakukan peresmian di Universitas Mathla'ul Anwar (Unma) Menes, Kabupaten Pandeglang, oleh dua orang tidak dikenal yang salah satunya menggunakan cadar berwarna hitam.

Selain Wiranto yang mengalami luka di perutnya, penyerangan ini juga membawa korban Kapolsek Menes Kompol Dariyanto serta Fuad Sauqi, salah seorang tokoh dari Menes.

Kejadian ini membuat banyak pertanyaan publik, bagaimana bisa pengamanan seorang Menko Polhukam bisa bobol, apakah pengamanan sudah sesuai dengan prosedur atau kecolongan?

Terkait dengan pertanyaan tersebut, pihak Mabes Polri membantah adanya kecolongan dalam pengamanan Wiranto saat kunjungan kerja di Pandeglang ini. "Tidak ada istilah kecolongan," kata Karo Penmas Divisi Humas Polri Brigjen Dedi Prasetyo di Mabes Polri, Jakarta.

Baca juga: Wiranto ditusuk, Menhan ingatkan soal bahaya ISIS

Menurut Dedi, barikade pengamanan berlapis sudah sesuai dengan prosedur pengamanan pejabat publik. Namun, interaksi dengan masyarakat merupakan hal yang biasa jika ada warga yang minta bersalaman.

"Interaksi pejabat publik dengan masyarakat itu seperti itu, bersalaman, disapa, itu hal yang biasa. Barikade untuk pengamanan 'kan tetap melekat, ada pamkatnya dekat sama beliau panwal juga ada semua. Jadi, prosedur pengawalan dan pengamanan pejabat publik sudah ada pengamanan melekat yang istilahnya protektor pejabat tersebut," kata Wiranto.

Menanggapi kejadian ini, Pengamat politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Lili Romli memandang perlu ada evaluasi standar operasional prosedur (SOP) pengamanan pejabat publik terkait dengan penusukan Wiranto ini.

"Berarti perlu ada SOP pengamanan pejabat publik ini. SOP selama ini seperti apa pengamanannya. Perlu ada evaluasi, karena bagaimana pun pejabat publik harus mendapat perlindungan keamanannya," kata Lili saat dihubungi ANTARA, Jakarta.

Lili mengatakan bahwa peristiwa penusukan Wiranto merupakan kasus pertama yang dia ketahui terkait penusukan pejabat publik yang merupakan seorang menteri oleh seorang warga.

Baca juga: Menhan: Peristiwa penusukan Wiranto tidak ancam pelantikan presiden

Terkait dengan motif penusukan, Lili memandang perlu ada penelusuran lebih lanjut sehingga tidak bisa disimpulkan saat ini. Namun, bisa jadi ada kemungkinan muatan politik di balik penusukan Wiranto karena yang diserang adalah Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan.

"Jadi, ada motif politik, kalau yang menyerang adalah orang waras atau sehat secara psikologis karena yang diserang pejabat politik Menko Polhukam, tidak lepas dari kepentingan politik, bisa terkait dengan pilpres (pemilihan presiden) dan pelarangan gerakan radikal," kata Lili.

Hal yang sama juga diungkapkan anggota Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) DPR RI Abdul Kadir Karding terkait dengan insiden penusukan terhadap Wiranto di Banten. Peristiwa ini dapat menjadi pembelajaran berharga bagi Presiden RI Joko Widodo maupun pejabat negara lainnya saat berada di tengah kerumunan massa.

"Dari kejadian penusukan yang dialami oleh Pak Wiranto ini, ada beberapa hal penting yang harus digarisbawahi. Kejadian ini menjadi pembelajaran sangat berharga," kata Abdul Kadir Karding.

Menurut Karding, kejadian penusukan terhadap Jenderal TNI (Purnawirawan) ini menjadi pesan kuat kepada Presiden Joko Widodo serta pejabat negara lainnya untuk lebih berhati-hati.

"Mungkin harus ada pengamanan dan sistem keprotokolan yang perlu diatur lebih ketat terhadap pejabat negara," katanya.

Sebagai pendukung Presiden Joko Widodo, setelah melihat kejadian penusukan terhadap Wiranto, Karding menjadi berpikir bagaimana dengan Presden Joko Widodo yang suka blusukan ke pasar tradisional maupun keramaian dan bersalaman dalam jarak rapat dengan masyarakat.

"Saya juga jadi berpikir apakah kebiasaan Pak Jokowi untuk bersalaman di tengah keramaian masyarakat perlu dievaluasi untuk diperbaiki, atau terus dilakukan dengan pengawalan yang lebih ketat," katanya.

Baca juga: Karding: Penusukan terhadap Wiranto jadi pembelajaran berharga

Mantan Wakil Ketua Tim Kampanye Nasional Joko Widodo-Ma'ruf Amin ini mengatakan bahwa kejadian penusukan terhadap Jenderal (Purn.) Wiranto bisa terjadi pada siapa saja, pejabat, atau tokoh yang sikap atau pernyataannya dianggap berbeda dengan kelompok tertentu.

Terkait dengan kekhawatiran Karding ini, pihak Pasukan Pengamanan Presiden (Paspampres) menyatakan bahwa pengamanan VVIP kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi) selalu dalam status high risk.

"Kita 'kan standar sudah high risk. Kalau kita enggak tahu kondisinya bagaimana, harusnya bisa diantisipasi," kata Komandan Paspampres Mayor Jenderal TNI Maruli Simanjuntak dihubungi di Jakarta.

Terkait dengan insiden penusukan kepada Menko Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto, Maruli menanggapi timnya selalu siaga melalui prosedur operasi standar (POS).

Ia menjelaskan bahwa saat pejabat VVIP turun dari kendaraan, kondisi keamanan dipastikan clear. "Tidak ada. Kami sudah siaga dan mudah-mudahan tak terjadi, ya." kata Maruli terkait dengan penambahan pengamanan terhadap Presiden Jokowi.

Meskipun demikian, Karding berharap agar pejabat-pejabat di pemerintahan memperhatikan pengamanan saat melakukan kunjungan lapangan.

"Sungguh disayangkan pejabat sekelas Menko bisa mengalami penusukan. Oleh karena itu, wajib dievaluasi dan diambil tindakan hukum yang tegas terhadap tim pengamanan yang melekat kepada Menko Polhukam tersebut," ujarnya.

Baca juga: Wiranto diserang, LPSK siap lindungi para korban

Selain itu, dia mengucapkan rasa belasungkawa atas penusukan yang dialami oleh Wiranto saat berkunjung ke Provinsi Banten.

Ia berharap Wiranto tidak mengalami luka serius dan segera bisa pulih, dan tentu saja pelakunya harus diproses secara hukum.

"Yang paling penting, publik pasti ingin tahu apa motif dan siapa sebenarnya pelaku penusukan tersebut," katanya.

Menurut Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigjen Pol. Dedi Prasetyo, salah satu pelaku penusukan terhadap Wiranto bernama SA alias Abu Rara diduga terpapar paham radikal.

Afiliasi pelaku dengan Jamaah Ansharut Daulah (JAD) di Indonesia masih didalami. Dari hasil keterangan sementara, motif pelaku yang terpapar paham radikal akan menyerang pejabat publik yang melakukan penegakan hukum terhadap kelompok itu.