Jakarta (ANTARA) - Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) mengatakan teknologi budidaya gabungan teripang, bandeng dan rumput laut atau lebih dikenal dengan sebutan Terbaru mampu menurunkan biaya produksi dan berujung pada meningkatnya kesejahteraan petambak.

"Masyarakat sudah merasakan hasilnya," kata Deputi LIPI Bidang Ilmu Kebumian Dr. Zainal Arifin usai mengisi sesi diskusi di hari kedua Sustainable Development Goals (SDGs) Annual Conference 2019 Indonesia yang digelar di Fairmont Hotel Jakarta, Rabu.

Ia mengatakan teknologi budidaya Terbaru merupakan teknologi budidaya yang menggabungkan komoditas teripang, bandeng dan rumput laut Gracilaria sp dalam satu tambak.

Budidaya Terbaru tersebut memanfaatkan biota dalam ekosistem tambak.

Baca juga: LIPI berhasil kembangkan budidaya gabungan teripang-bandeng-rumput laut

Rumput laut Gracilaria sp berperan sebagai produsen yang menyerap nutrisi yang berasal dari perairan, pupuk, dan sisa metabolisme biota dalam tambak kemudian mengkonversinya menjadi biomassa melalui proses fotosintesis.

Bandeng merupakan omnivora yang memakan partikel tersuspensi, fitoplankton, dan klekap. Sementara teripang pasir berperan sebagai pemakan detritus yang memanfaatkan bahan organik dalam tambak.

Melalui metode itu, daur nutrisi dalam sistem budidaya menjadi lebih efisien karena biaya pakan dan pengelolaan kualitas air dapat ditekan secara optimal sehingga berdampak pada penurunan biaya produksi.

Dengan memanfaatkan teknologi budidaya tersebut, petambak bisa memanen hingga 3 komoditas dalam satu tambak.

Komoditas pertama, yaitu rumput laut, dapat dipanen setiap tiga hingga empat bulan sekali dalam satu tahun.

Sementara bandeng dapat dipanen setiap enam bulan dan teripang dapat dipanen setiap satu tahun sekali.

Baca juga: Permintaan tinggi, warga Sorong dilatih budidaya teripang

"Daripada dia hanya satu tambak cuma hanya memelihara satu pelihara bandeng saja. Itu kan setahun cuma dua kali, 3 kali untuk rumput laut, 1 kali untuk teripang."

"Sekarang harga teripang berapa harganya? Rp900 ribu per kilogram. Mahal, bukan?," katanya lebih lanjut.

Dengan memanfaatkan budidaya tersebut, masyarakat nelayan bisa memangkas biaya produksi sekaligus meningkatkan pendapatan karena masa panen yang lebih sering.

Teknologi tersebut telah dikembangkan dalam hampir lima tahun terakhir dengan kegiatan riset yang dilakukan di Lombok.

Saat ini konsep teknologi budidaya tersebut telah diadopsi oleh beberapa industri di Nusa Tenggara Barat (NTB) dan Nusa Tenggara Timur (NTT).

Baca juga: Ini inovasi budidaya rumput laut di tambak ikan, udang
Baca juga: Pemerintah berkomitmen kembangkan industri rumput laut