Palu (ANTARA) - Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) menyatakan dua dari tiga anak Indonesia berusia 13 - 17 tahun pernah mengalami kekerasan baik secara fisik, emosional maupun kekerasan seksual.

"Perlu kita ketahui, berdasarkan survei nasional pengalaman hidup anak dan remaja tahun 2018 oleh KPPPA bahwa dua dari tiga anak Indonesia berusia 13 - 17 tahun mengaku pernah mengalami kekerasan, baik kekerasan fisik, emosional ataupun seksual," ucap Kepala Bidang Perlindungan Anak Korban Bencana dan Konflik pada Deputi Perlindungan Anak KPPPA, Sumbono, di Palu, Rabu.

Data itu disampaikan oleh Sumbono saat menyampaikan sambutan mewakilii Asisten Deputi Perlindungan Anak KPPPA, pada kegiatan pelatihan aktivis perlindungan anak terpadu berbasis masyarakat (PATBM).

Sementara di Sulteng, urai dia, berdasarkan Simfoni-PPA tahun 2019 telah terjadi 263 kasus kekerasan terhadap anak, dan kasus kekerasan terbanyak menimpa anak usia 13 - 17 tahun.

Baca juga: KPPPA-DP3A maksimalkan PATBM akhiri kekerasan terhadap anak di Sulteng


"Anak-anak di Sulteng juga memiliki kerentanan yang tinggi terhadap kekerasan karena berada pada fase pascabencana. Dalam periode pascabencana, dengan tingkat stress yang tinggi di masyarakat, huntara yang belum layak anak dan perempuan, serta kondisi-kondisi lain yang belum stabil membuat anak-anak di Sulteng menjadi lebih rentan terhadap kekerasan," katanya.

Padahal, sebut dia, anak berhak mendapat hak dan perlindungan yang layak sesuai dalam UU Nomor 35 Tahun 2014. Hak perlindungan yaitu hak untuk mendapat perlindungan dari diskriminasi, tindak kekerasan dan penelantaran.

Karena itu, ujar dia, perlindungan anak dan pemenuhan hak anak menjadi hal yang sangat penting untuk dilakukan secara bersama-sama, baik oleh negara, pemerintah pusat, pemerintah daerah, maupun masyarakat.

Sebagai langkah pencegahan, kata dia, KPPPA membentuk suatu gerakan Perlindungan Anak Terpadu Berbasis Masyarakat (PATBM) serta sebagai perpanjangan tangan KPPPA di daerah.

"Untuk itu KPPPA melakukan penguatan kapasitas secara berkala terkait berbagai topik perlindungan anak kepada para fasilitator dan aktivis PATBM untuk terus meningkatkan kualitas sumber daya manusia," sebutnya.

Pertemuan itu melibatkan aktivis, komunitas peduli anak dari desa dan kelurahan di daerah terdampak bencana dari Palu, Sigi dan Donggala.

Baca juga: KPAI prihatin banyak siswa ikut demo di DPR