Luka akibat jerat picu infeksi yang mematikan Gajah Dita
9 Oktober 2019 15:15 WIB
Tim medis Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Riau melakukan nekropsi terhadap bangkai gajah liar betina, Dita yang pada 2014 terkena jerat sehingga kaki depan kirinya buntung, sebelum akhirnya ditemukan mati pada Senin (7/10/2019), ANTARA FOTO/Hadly Vavaldi/FBA/ama.
Pekanbaru (ANTARA) - Dokter hewan Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Provinsi Riau menyimpulkan penyebab kematian gajah Sumatera yang diberi nama Dita adalah akibat infeksi luka pada kakinya yang pernah terkena jerat hingga buntung sebagian.
"Adanya infeksi yang sudah menyebar ke seluruh tubuh melalui telapak kaki gajah di sebelah kiri," kata Dokter Hewan BBKSDA Riau, Rini Deswita dalam pernyataan pers yang diterima ANTARA di Pekanbaru, Rabu.
Kesimpulan tersebut didapatkan BBKSDA Riau setelah melakukan nekropsi atau bedah bangkai terhadap Gajah Dita pada Selasa (8/10).
Gajah sumatera (elephas maximus sumatranus) liar tersebut ditemukan mati pada 7 Oktober lalu di Suaka Margasatwa Balai Raja Kecamatan Pinggir, Kabupaten Bengkalis.
Bangkai gajah betina itu berada di kubangan air dengan isi perut sudah keluar. Diperkirakan gajah itu sudah mati lima hari yang lalu.
Rini menjelaskan hasil nekropsi menunjukkan tubuh Gajah Dita tidak ditemukan tanda-tanda kekerasan maupun keracunan.
Baca juga: Dita mati, gajah sumatera di Balai Raja tinggal tujuh ekor
"Kesimpulannya Gajah Dita mati karena peradangan di seluruh tubuh yang disebabkan oleh infeksi," ujarnya.
Gajah malang tersebut selama ini menderita karena kaki kiri bagian depan tidak utuh lagi pada bagian tapaknya akibat terkena jerat pada sekitar 2014. Pegiat lingkungan bersama BBKSDA Riau berulangkali mengobati gajah betina tersebut dan akhirnya memberi nama Dita.
Pengobatan terhadap satwa bongsor itu pernah dilakukan pada 2014 hingga 2017. Namun, luka pada gajah berusia 27 tahun itu tidak kunjung sembuh dan menyebabkan kaki kiri Dita buntung.
Lokasi matinya gajah merupakan bagian dari Suaka Margasatwa Balai Raja yang kondisinya banyak beralih fungsi dari hutan menjadi permukiman warga, kantor pemerintahan dan kebun kelapa sawit.
Habitat asli gajah sumatera itu, ujar dia, sudah tidak lagi berupa hutan, dan satwa bongsor tersebut kerap dianggap warga sebagai hama yang merusak kebun kelapa sawit.
Luas Balai Raja yang awalnya ditetapkan pemerintah sekitar 18 ribu hektare, kini hanya tersisa sekitar 150 hingga 200 hektare berupa hutan.
Dengan matinya Gajah Dita, populasi gajah sumatera liar di Balai Raja tinggal tujuh ekor berdasarkan data BBKSDA Riau.
Baca juga: Kematian gajah sumatera berkaki buntung diduga akibat sakit
"Adanya infeksi yang sudah menyebar ke seluruh tubuh melalui telapak kaki gajah di sebelah kiri," kata Dokter Hewan BBKSDA Riau, Rini Deswita dalam pernyataan pers yang diterima ANTARA di Pekanbaru, Rabu.
Kesimpulan tersebut didapatkan BBKSDA Riau setelah melakukan nekropsi atau bedah bangkai terhadap Gajah Dita pada Selasa (8/10).
Gajah sumatera (elephas maximus sumatranus) liar tersebut ditemukan mati pada 7 Oktober lalu di Suaka Margasatwa Balai Raja Kecamatan Pinggir, Kabupaten Bengkalis.
Bangkai gajah betina itu berada di kubangan air dengan isi perut sudah keluar. Diperkirakan gajah itu sudah mati lima hari yang lalu.
Rini menjelaskan hasil nekropsi menunjukkan tubuh Gajah Dita tidak ditemukan tanda-tanda kekerasan maupun keracunan.
Baca juga: Dita mati, gajah sumatera di Balai Raja tinggal tujuh ekor
"Kesimpulannya Gajah Dita mati karena peradangan di seluruh tubuh yang disebabkan oleh infeksi," ujarnya.
Gajah malang tersebut selama ini menderita karena kaki kiri bagian depan tidak utuh lagi pada bagian tapaknya akibat terkena jerat pada sekitar 2014. Pegiat lingkungan bersama BBKSDA Riau berulangkali mengobati gajah betina tersebut dan akhirnya memberi nama Dita.
Pengobatan terhadap satwa bongsor itu pernah dilakukan pada 2014 hingga 2017. Namun, luka pada gajah berusia 27 tahun itu tidak kunjung sembuh dan menyebabkan kaki kiri Dita buntung.
Lokasi matinya gajah merupakan bagian dari Suaka Margasatwa Balai Raja yang kondisinya banyak beralih fungsi dari hutan menjadi permukiman warga, kantor pemerintahan dan kebun kelapa sawit.
Habitat asli gajah sumatera itu, ujar dia, sudah tidak lagi berupa hutan, dan satwa bongsor tersebut kerap dianggap warga sebagai hama yang merusak kebun kelapa sawit.
Luas Balai Raja yang awalnya ditetapkan pemerintah sekitar 18 ribu hektare, kini hanya tersisa sekitar 150 hingga 200 hektare berupa hutan.
Dengan matinya Gajah Dita, populasi gajah sumatera liar di Balai Raja tinggal tujuh ekor berdasarkan data BBKSDA Riau.
Baca juga: Kematian gajah sumatera berkaki buntung diduga akibat sakit
Pewarta: FB Anggoro
Editor: Dewanti Lestari
Copyright © ANTARA 2019
Tags: