Dalam prosesi terkait dengan tradisi saparan (kalender Jawa, Sapar, red.) di dusun berpenduduk sekitar 200 keluarga atau sekitar 600 jiwa di Kecamatan Ngablak itu, sejumlah warga berpakaian warna putih mengusung tiga gunungan. Mereka berjalan kaki dari ujung dusun menuju halaman rumah Kepala Dusun Mantran Wetan, Handoko.
Tiga gunungan, masing-masing setinggi 80-an centimeter yang dikirab dengan tandu dalam iringan lantunan tembang islami dipimpin tokoh agama setempat, Kiai Thohir itu, terdiri atas gunungan nasi tumpeng dengan sejumlah ingkung dan lauk pauk lainnya, berbagai hasil panenan sayuran, dan buah-buahan, palawija, serta jajan pasar. Tiga gunungan itu disebut sebagai "tumpeng jangka" (tumpeng pengharapan).
Masyarakat lainnya, baik tua muda, laki-laki, perempuan, maupun anak-anak mengikuti kirab dengan masing-masing membawa nasi tumpeng dan ingkung.
Baca juga: "Kembar Mayang" Harapan Petani Magelang di Tahun Baru
Di tepi jalan beraspal dusun itu dipasangi puluhan intalasi tumpeng dan sesaji di atas ancak (papan dari bambu) yang masing-masing setinggi sekitar satu meter. Oleh karena cukup banyak tumpeng yang dibawa warga dalam kirab tersebut, mereka kemudian menyebut sebagai "tumpeng sewu" (tumpen seribu).
Kadus Handoko menyebut tradisi saparan oleh warga setempat sebagai peninggalan leluhur dusun itu, dilaksanakan setiap Rabu Pahing, Bulan Sapar (kalender Jawa).
"Kita menghormati leluhur, sesepuh yang sudah mendahului kita, melestarikan tradisi yang adalah hasil pemikiran para sesepuh zaman dahulu," ujar dia dalam bahasa Jawa di hadapan warga.
Melalui pelaksanaan tradisi tersebut, diharapkan warga selalu beroleh hidup tenteram dan keselamatan, serta rejeki yang cukup, terutama dari hasil bumi pertanian di daerah setempat. Hampir semua warga setempat hidup sebagai petani dengan lahan subur yang cocok untuk budi daya berbagai sayuran.
Baca juga: Festival Topeng Ireng Simpul Energi Petani
Baca juga: Festival Lima Gunung Digelar di Ngablak
Sebelum memimpin doa secara islami dalam tradisi saparan tersebut, pemuka agama Islam dusun setempat, Kiai Thohir mengajak warga untuk bersyukur kepada Allah SWT atas berkah kehidupan selama ini di kawasan tersebut.
"Syukur kepada Allah karena berkah, wujud syukur ini melalui 'tumpeng jangka' dan juga harapan masyarakat Mantran Wetan ini untuk selalu hidup tenteram, bebas dari bencana, lancar mencari rejeki, tanaman selalu subur. Syukuran ini juga wujud bakti kepada leluhur," katanya.
Dalam rangkaian tradisi saparan itu, mereka wajib mementaskan tarian tradisional "Jaran Kepang Papat", berupa tarian jaran kepang yang dimainkan empat orang secara turun temurun.
Selain itu, pada Jumat (11/10), masyarakat dusun tersebut menggelar panggung pementasan berbagai kesenian, baik oleh para seniman petani setempat yang tergabung dalam Padepokan Andong Jinawi Mantran Wetan pimpinan Supadi Haryanto maupun berbagai kesenian dari jejaring kelompok itu dari sejumlah tempat.
Dalam pergelaran di halaman rumah Supadi itu telah dibuat panggung yang tampak megah menggunakan berbagai bahan alam, sedangkan kesenian yang dipentaskan, antara lain warok, topeng, kuda lumping, mojopahitan, sendratari, dan wayang kulit.
Baca juga: Petani Magelang Hidupkan Lagi Tarian "Goh Muko"