Jakarta (ANTARA) - Direktur Kantor Internasional Universitas Pancasila Prof. Eddy Pratomo memaparkan sejumlah tantangan yang dihadapi oleh para juru runding dan memperpanjang waktu penyelesaian proses negosiasi batas laut dengan negara-negara yang berbatasan dengan Indonesia.

“Ada beberapa tantangan, yang pertama adalah segi objektif dan yang kedua segi subjektif,” kata Eddy yang pernah diutus oleh Presiden Joko Widodo sebagai special envoy untuk Penetapan Batas Maritim antara Republik Indonesia dan Malaysia.

Dia pun memaparkan tantangan-tantangan tersebut berdasarkan pengalamannya sebagai utusan khusus Presiden.

Baca juga: Guru Besar: Perundingan batas maritim Indonesia butuh waktu panjang

Menurut dia, tantangan dari segi objektif dapat berupa masalah-masalah teknis yang muncul dalam perundingan.

“Misalnya tentang kondisi area delimitasi, kita punya batas darat di Pulau Sebatik, di Kabupaten Nunukan yang tergantung dari naik turunnya air laut. Titik daratnya sampai sekarang belum disepakati dan sampai sekarang kita masih merundingkan dengan negara tetangga,” katanya.

Selain panjangnya proses penetapan garis tengah (median lines) dan solusi yang adil (equitable solutions) bagi kedua pihak, Guru Besar Hukum Internasional Universitas Diponegoro itu juga menyebut faktor internal sebagai tantangan dalam penyelesaian perundingan, contohnya seperti perubahan tatanan atau kepemimpinan suatu negara yang berujung pada perubahan kebijakan perundingan.

Tantangan ketiga yang dapat menjadi hambatan adalah interpretasi aspek hukum laut dan teknis batas laut, yang menurut Eddy, dapat berbeda-beda bagi setiap negara.

Baca juga: Generasi muda harus paham penghitungan batas maritim

“Contohnya kita mengenal dual line, sementara Malaysia tidak. Metode penarikan garis tidak sama,” katanya.

Terakhir, ada pula aspek logistik dan teknis lainnya yang dapat mengulur proses perundingan batas laut.

Meski ada sejumlah hambatan yang membentang di hadapan proses perundingan, dia mengatakan Indonesia tetap perlu melakukan negosiasi batas laut, mengingat negara kepulauan ini bertetangga dengan 10 negara lain, diantaranya Australia, Filipina, Malaysia dan Singapura.

Menurut dia, negosiasi adalah cara paling mudah dan murah dibandingkan arbitrasi, mediasi, atau konsiliasi. Cara tersebut juga menjaga kerahasiaan dokumen-dokumen yang bersifat confidential bagi Indonesia.

Baca juga: Indonesia dorong percepatan perjanjian batas maritim dengan 10 negara

“Kalau negosiasi kita sendiri yang melakukan dan semua rahasia seperti peta-peta dan dokumen hukum itu kita pegang sendiri, kalau arbitrasi, mediasi, atau konsiliasi terpaksa bahan-bahan itu yang menyangkut kedaulatan Indonesia terpaksa kita berikan kepada orang lain,” katanya.

Negosiasi, lanjutnya, juga bagian dari proses damai, sebagaimana diamanatkan oleh United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS).