Politikus PPP setujui ancaman mati bagi pelaku tindak pidana korupsi
8 Oktober 2019 19:24 WIB
Wakil Sekjen DPP PPP Ade Irfan Pulungan (kedua kanan) diapit anggota Fraksi PDIP DPR RI Masinton Pasaribu (kedua kiri) dan Direktur Hukum Wain Advisory Sulthan Muhammad Yus (pertama kanan) serta moderator Poltak Sinaga (pertama kiri) saat acara "Habis Demo Terbitlah Perppu" di Tebet Jakarta Selatan, Selasa (8-10-2019). ANTARA/Abdu Faisal
Jakarta (ANTARA) - Politikus Partai Persatuan Pembangunan (PPP) Ade Irfan Pulungan menyetujui pidana mati bagi orang yang terbukti menyebabkan kerugian negara dengan melakukan korupsi.
"Secara hukum sudah inkrah di pengadilan, terbukti melakukan kerugian negara. Saya setuju jika ancaman pidana mati diterapkan," ujar Ade dalam acara "Habis Demo Terbitlah Perppu" di Tebet Jakarta Selatan, Selasa.
Wakil Sekretaris Jenderal Dewan Pimpinan Pusat PPP itu heran mengapa publik suka menggunjingkan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) jika ada keinginan merevisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK).
Baca juga: ICW: Ada 10 konsekuensi timbul bila presiden tak keluarkan Perppu KPK
"Sering dipergunjingkan kalau ada sebuah keinginan merevisi UU KPK, yang itu hak konstitusional di DPR," ujar Ade.
Menurut dia, DPR memiliki kewenangan secara konstitusional, yang dipercayakan pada badan legislatif itu untuk menyuarakan aspirasi rakyat.
"Mengapa setiap DPR ingin membahas UU KPK seolah mendapat benturan kuat di publik? UU KPK sudah ada sejak 2002. Dalam usia perjalanan 17 tahun, kalau kita analogikan UU itu seperti orang akil balig. Namun, masih banyak dinamika dan hambatan," ujar Ade.
Menurut Ade, jangan sampai ada perbedaan persepsi di publik kalau DPR merevisi UU KPK akan dilabel tidak mendukung pemberantasan korupsi.
Ia mengatakan bahwa masyarakat perlu melakukan cek silang (cross check) untuk memperbaiki kewenangan KPK lewat DPR yang memiliki kewenangan untuk melakukan cek silang itu.
"KPK itu 'kan dituduh hanya menindak kasus korupsi yang kecil-kecil saja. Ketika berbicara revisi UU KPK, kita dianggap prokoruptor. Bagi saya, jangan dianggap lembaga DPR melakukan revisi UU KPK untuk melemahkan KPK," katanya.
Baca juga: Hamdan Zoelva sebut Presiden tak bisa digugat terkait perppu
Ade menilai berbeda pendapat itu khazanah dan sah-sah saja sepanjang orientasinya sama. Rakyat tentu tidak setuju dengan tindakan korupsi yang dapat mengobok sistem pemerintahan dan menghambat pembangunan.
Menurut dia, itu juga sejalan dengan apa yang diniatkan anggota dewan. Kedua keinginan tersebut perlu bertemu di satu titik sehingga korupsi bisa dituntaskan dan diperangi bersama-sama.
"Hak konstitusional rakyat lewat judicial review. Kepada anggota DPR, lakukan legislative review. Mari sama-sama gunakan hak konstitusional kita untuk melihat masalah secara adil untuk kepentingan masyarakat Indonesia," ajak Ade.
Sementara itu peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) itu sepenuhnya menjadi kewenangan prerogatif Presiden, tidak lagi bersama DPR. Meski nanti tinggal disetujui DPR atau tidak.
"Jadi, lakukan sesuatu yang bukan kewenangan konstitusi kita. Belum saatnyalah, perppu untuk dikeluarkan saat ini. Masih ada cara lain," ujar Ade.
"Secara hukum sudah inkrah di pengadilan, terbukti melakukan kerugian negara. Saya setuju jika ancaman pidana mati diterapkan," ujar Ade dalam acara "Habis Demo Terbitlah Perppu" di Tebet Jakarta Selatan, Selasa.
Wakil Sekretaris Jenderal Dewan Pimpinan Pusat PPP itu heran mengapa publik suka menggunjingkan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) jika ada keinginan merevisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK).
Baca juga: ICW: Ada 10 konsekuensi timbul bila presiden tak keluarkan Perppu KPK
"Sering dipergunjingkan kalau ada sebuah keinginan merevisi UU KPK, yang itu hak konstitusional di DPR," ujar Ade.
Menurut dia, DPR memiliki kewenangan secara konstitusional, yang dipercayakan pada badan legislatif itu untuk menyuarakan aspirasi rakyat.
"Mengapa setiap DPR ingin membahas UU KPK seolah mendapat benturan kuat di publik? UU KPK sudah ada sejak 2002. Dalam usia perjalanan 17 tahun, kalau kita analogikan UU itu seperti orang akil balig. Namun, masih banyak dinamika dan hambatan," ujar Ade.
Menurut Ade, jangan sampai ada perbedaan persepsi di publik kalau DPR merevisi UU KPK akan dilabel tidak mendukung pemberantasan korupsi.
Ia mengatakan bahwa masyarakat perlu melakukan cek silang (cross check) untuk memperbaiki kewenangan KPK lewat DPR yang memiliki kewenangan untuk melakukan cek silang itu.
"KPK itu 'kan dituduh hanya menindak kasus korupsi yang kecil-kecil saja. Ketika berbicara revisi UU KPK, kita dianggap prokoruptor. Bagi saya, jangan dianggap lembaga DPR melakukan revisi UU KPK untuk melemahkan KPK," katanya.
Baca juga: Hamdan Zoelva sebut Presiden tak bisa digugat terkait perppu
Ade menilai berbeda pendapat itu khazanah dan sah-sah saja sepanjang orientasinya sama. Rakyat tentu tidak setuju dengan tindakan korupsi yang dapat mengobok sistem pemerintahan dan menghambat pembangunan.
Menurut dia, itu juga sejalan dengan apa yang diniatkan anggota dewan. Kedua keinginan tersebut perlu bertemu di satu titik sehingga korupsi bisa dituntaskan dan diperangi bersama-sama.
"Hak konstitusional rakyat lewat judicial review. Kepada anggota DPR, lakukan legislative review. Mari sama-sama gunakan hak konstitusional kita untuk melihat masalah secara adil untuk kepentingan masyarakat Indonesia," ajak Ade.
Sementara itu peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) itu sepenuhnya menjadi kewenangan prerogatif Presiden, tidak lagi bersama DPR. Meski nanti tinggal disetujui DPR atau tidak.
"Jadi, lakukan sesuatu yang bukan kewenangan konstitusi kita. Belum saatnyalah, perppu untuk dikeluarkan saat ini. Masih ada cara lain," ujar Ade.
Pewarta: Abdu Faisal
Editor: D.Dj. Kliwantoro
Copyright © ANTARA 2019
Tags: