MK diminta prioritaskan gugatan syarat mantan terpidana korupsi
8 Oktober 2019 19:18 WIB
Dokumentasi Koalisi Selamatkan MK yang terdiri (dari kiri) Haris Azhar (KontraS), Wahyudi Jafar (Elsam), Ferry Junaedi (Perludem), Donal Faris (ICW), Nurcholis (LBH Jakarta) dan Aphon Kurnia Palma (YLBHI) saat jumpa pers di YLBHI tentang fenomena ketidakhadiran hakim MK saat sidang, Jakarta, Jumat (29/4). Data mereka menyebutkan tingkat kehadiran hakim MK tahun 2011 yang lengkap hanya 43% dan mereka meminta MK segera melakukan otokritik akan ketidakhadiran hakim pada persidangan. (ANTARA/Fanny Octavianus)
Jakarta (ANTARA) - Mahkamah Konstitusi diminta memprioritaskan permohonan uji materi Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada karena gugatan itu akan berdampak langsung pada proses pencalonan dalam Pilkada Serentak 2020.
Indonesia Corruption Watch (ICW) serta Perkumpulan Untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) sebagai pemohon meminta Mahkamah Konstitusi mempercepat proses pemeriksaan karena penyerahan syarat dukungan calon kepala daerah jalur perseorangan akan dimulai pada Desember 2019.
Baca juga: ICW dan Perludem gugat syarat mantan terpidana korupsi dalam pilkada
Baca juga: Hebatnya mantan terpidana korupsi bisa "nyaleg"
Baca juga: PPP coret tujuh bacaleg mantan terpidana korupsi
Baca juga: Golkar tarik 25 caleg mantan terpidana korupsi
"Yang Mulia, kami memahami Mahkamah Konstitusi memiliki kesibukan dan waktu yang padat untuk memproses perkara dan pengujian undang-undang, tetapi mengingat relevansi permohonan ini dengan masa waktu tanggal 11 Desember 2019 berkaitan pencalonan kepala daerah, maka kami memohon Mahkamah Konstitusi untuk dapat memprioritaskan permohonan perkara Nomor 56/PUU-XVII/2019 ini," tutur kuasa hukum pemohon Donal Faris dalam sidang pendahuluan di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Selasa.
Pasal 7 ayat (2) huruf g UU Pilkada menyatakan syarat calon kepala daerah tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap atau bagi mantan terpidana telah secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana.
Pemohon menilai pasal itu membuka kesempatan mantan terpidana, khususnya kasus korupsi untuk menjadi calon kepala daerah tanpa masa tunggu setelah menjalani hukumannya.
Untuk itu, pemohon meminta Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan Pasal 7 ayat (2) huruf g UU Pilkada tidak mengikat sepanjang tidak dimaknai pencabutan hak pilih oleh putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, bagi mantan terpidana telah melewati jangka waktu lima tahun setelah mantan terpidana selesai menjalani pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, jujur atau terbuka mengenai latar belakang jati dirinya sebagai mantan terpidana dan bukan pelaku kejahatan yang berulang-ulang.
Baca juga: Ketua DPR pertanyakan kebijakan KPU soal larangan mantan terpidana korupsi
Menanggapi permohonan provisi itu, hakim konstitusi Saldi Isra meminta pemohon menguraikan alasan meminta gugatannya diprioritaskan dalam posita, tidak hanya dalam petitum saja.
"Di petitum pemohon meminta ada permohonan provisi itu harus ada elaborasinya satu atau paragraf, satu atau dua angka di posita untuk menggambarkan kejadian kenapa pemohon sampai pada kesimpulan bahwa ini mendesak," kata Saldi Isra.
Indonesia Corruption Watch (ICW) serta Perkumpulan Untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) sebagai pemohon meminta Mahkamah Konstitusi mempercepat proses pemeriksaan karena penyerahan syarat dukungan calon kepala daerah jalur perseorangan akan dimulai pada Desember 2019.
Baca juga: ICW dan Perludem gugat syarat mantan terpidana korupsi dalam pilkada
Baca juga: Hebatnya mantan terpidana korupsi bisa "nyaleg"
Baca juga: PPP coret tujuh bacaleg mantan terpidana korupsi
Baca juga: Golkar tarik 25 caleg mantan terpidana korupsi
"Yang Mulia, kami memahami Mahkamah Konstitusi memiliki kesibukan dan waktu yang padat untuk memproses perkara dan pengujian undang-undang, tetapi mengingat relevansi permohonan ini dengan masa waktu tanggal 11 Desember 2019 berkaitan pencalonan kepala daerah, maka kami memohon Mahkamah Konstitusi untuk dapat memprioritaskan permohonan perkara Nomor 56/PUU-XVII/2019 ini," tutur kuasa hukum pemohon Donal Faris dalam sidang pendahuluan di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Selasa.
Pasal 7 ayat (2) huruf g UU Pilkada menyatakan syarat calon kepala daerah tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap atau bagi mantan terpidana telah secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana.
Pemohon menilai pasal itu membuka kesempatan mantan terpidana, khususnya kasus korupsi untuk menjadi calon kepala daerah tanpa masa tunggu setelah menjalani hukumannya.
Untuk itu, pemohon meminta Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan Pasal 7 ayat (2) huruf g UU Pilkada tidak mengikat sepanjang tidak dimaknai pencabutan hak pilih oleh putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, bagi mantan terpidana telah melewati jangka waktu lima tahun setelah mantan terpidana selesai menjalani pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, jujur atau terbuka mengenai latar belakang jati dirinya sebagai mantan terpidana dan bukan pelaku kejahatan yang berulang-ulang.
Baca juga: Ketua DPR pertanyakan kebijakan KPU soal larangan mantan terpidana korupsi
Menanggapi permohonan provisi itu, hakim konstitusi Saldi Isra meminta pemohon menguraikan alasan meminta gugatannya diprioritaskan dalam posita, tidak hanya dalam petitum saja.
"Di petitum pemohon meminta ada permohonan provisi itu harus ada elaborasinya satu atau paragraf, satu atau dua angka di posita untuk menggambarkan kejadian kenapa pemohon sampai pada kesimpulan bahwa ini mendesak," kata Saldi Isra.
Pewarta: Dyah Dwi Astuti
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2019
Tags: