Jakarta (ANTARA) - Indonesia Corruption Watch (ICW) dan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) menggugat Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada yang memperbolehkan terpidana korupsi mencalonkan diri menjadi kepala daerah setelah mengumumkan rekam jejaknya kepada publik.

Kuasa hukum pemohon, Donal Faris, dalam sidang perdana di Gedung Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta, Selasa, mengatakan bahwa Pasal 7 Ayat (2) Huruf g UU Pilkada bertentangan dengan Pasal 28I UUD NRI Tahun 1945.

"Pengujian permohonan pasal tersebut menurut hemat pemohon telah merugikan atau paling tidak menghambat hak konstitusional pemohon dalam rangka melakukan fungsi kerja dalam bidang antikorupsi dan dalam pengelolaan pemilu yang demokratis," ujar Donal Faris yang juga Koordinator Divisi Korupsi Politik ICW itu.

Baca juga: KPU ingin aturan larangan mantan koruptor didukung revisi UU

Pasal 7 Ayat (2) Huruf g UU Pilkada menyatakan syarat calon kepala daerah tidak pernah sebagai terpidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap atau bagi mantan terpidana telah secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana.

Pemohon menilai pasal itu membuka kesempatan mantan terpidana, khususnya kasus korupsi, untuk menjadi calon kepala daerah tanpa masa tunggu setelah menjalani hukuman.

Untuk itu, pemohon meminta Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan Pasal 7 Ayat (2) Huruf g UU Pilkada tidak mengikat sepanjang tidak dimaknai pencabutan hak pilih oleh putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, bagi mantan terpidana telah melewati jangka waktu 5 tahun setelah mantan terpidana selesai menjalani pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, jujur atau terbuka mengenai latar belakang jati dirinya sebagai mantan terpidana dan bukan pelaku kejahatan yang berulang-ulang.

Baca juga: Fahri: Larangan mantan napi koruptor ikut pilkada bukan domain KPU

Menanggapi permohonan itu, hakim konstitusi yang memimpin sidang Arief Hidayat didampingi Saldi Isra dan Suhartoyo meminta pemohon memperbaiki permohonan, salah satunya keterkaitan dengan pendidikan politik masyarakat Indonesia yang masih rendah.