Sulsel akan terapkan sistem perpipaan untuk tingkatkan produksi jagung
8 Oktober 2019 12:01 WIB
Gubernur Sulawesi Selatan HM Nurdin Abdullah (tengah) saat mengunjungi perusahaan di Melbourne, Australia, beberapa waktu lalu. ANTARA/HO-Humas Pemprov Sulsel
Makassar (ANTARA) - Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan akan menerapkan manajemen pengelolaan air dengan sistem perpipaan untuk meningkatkan produksi jagung pada lahan seluas 200 hektare di Kabupaten Takalar.
Terkait hal tersebut, Gubernur Sulawesi Selatan HM Nurdin Abdullah mengunjungi Melbourne, Australia, sejak Minggu (6/10/2019) untuk mempelajari manajemen air dalam rangka memodernisasi pertanian di Sulsel.
"Sistem manajemen air dalam program pengembangan jagung di Takalar dimulai tahun 2019, ini," kata Nurdin dalam keterangannya di Makassar, Selasa.
Baca juga: Nilai tukar petani Sulsel naik 0,43 persen
Bupati Bantaeng periode 2008-2018 ini mengatakan sistem perpipaan akan menjadi tonggak peradaban pertanian modern di Sulsel.
Area Sales Manager Netafim Australia John Poggioli mengatakan pihaknya memproduksi pipa dan komponennya yang lengkap untuk pengembangan sistem pertanian modern di Australia.
"Air dikelola dan diukur dengan sistem digitalisasi," katanya.
Selang pipa produksi Netafim sudah dilengkapi dengan lubang air berukuran sama pada jarak tertentu yakni setiap 50 sentimeter.
Pipa ditanam pada kedalaman tertentu pada jarak satu meter tiap bedengan.
Air yang dipasok melalui pipa ini diatur pada waktu-waktu tertentu dan dapat dikontrol menggunakan aplikasi di telepon genggam.
Lalu, air dipompa dari kolam sekitar 20 meter x 5 meter dengan kedalaman satu meter.
Kolam penampungan ini mampu mengairi lahan seluas 40 hektare.
"Sumber air dipasok dari bendungan. Kami punya empat bendungan," jelasnya.
Program perpipaan produksi Netafim menggunakan GPS, sehingga dapat diketahui dengan segera jika ada kebocoran, dan tingkat kelembaban yang sesuai kebutuhan tanaman.
Manager Director Netafim Levy Schneider menambahkan sistem manajemen air ini telah dikembangkan di India dan Afrika Selatan, yang sering terkena krisis air.
Pemerintah India, jelasnya, membuat program peningkatan kesejahteraan petani dengan memanfaatkan sistem pengairan tetes senilai 100 juta dolar AS.
Pada tahun pertama, program ini berhasil meningkatkan produksi pertanian dengan nilai setara 100 juta dolar AS dan meningkatkan kesejahteraan 27.000 petani setempat.
Di Austalia juga, katanya, minim sumber daya air sehingga harus diatur dengan baik, melalui program penghematan air.
Menurut Levy, petani Australia membayar air untuk pengairan sebesar 800 dolar Australia atau Rp7,6 juta dengan kurs Rp9.536 per dolar Australia untuk setiap 1.000 meter kubik air.
"Petani membayar karena hasil pertanian mereka menguntungkan. Tiap hektare lahan memproduksi 19 ton jagung dengan tingkat basah 20 persen," katanya.
Dijelaskannya, baru 13 persen dari total lahan pertanian di dunia yang menggunakan sistem manajemen irigasi tetes.
Dengan sistem ini, disuplai kebutuhan tanaman seperti air, pupuk cair, dan nutrisi.
Baca juga: Wagub: petani Sulsel dimanja Alsintan Menteri Pertanian
Baca juga: Mentan: petani milenial sudah mencapai 500 ribu orang
Terkait hal tersebut, Gubernur Sulawesi Selatan HM Nurdin Abdullah mengunjungi Melbourne, Australia, sejak Minggu (6/10/2019) untuk mempelajari manajemen air dalam rangka memodernisasi pertanian di Sulsel.
"Sistem manajemen air dalam program pengembangan jagung di Takalar dimulai tahun 2019, ini," kata Nurdin dalam keterangannya di Makassar, Selasa.
Baca juga: Nilai tukar petani Sulsel naik 0,43 persen
Bupati Bantaeng periode 2008-2018 ini mengatakan sistem perpipaan akan menjadi tonggak peradaban pertanian modern di Sulsel.
Area Sales Manager Netafim Australia John Poggioli mengatakan pihaknya memproduksi pipa dan komponennya yang lengkap untuk pengembangan sistem pertanian modern di Australia.
"Air dikelola dan diukur dengan sistem digitalisasi," katanya.
Selang pipa produksi Netafim sudah dilengkapi dengan lubang air berukuran sama pada jarak tertentu yakni setiap 50 sentimeter.
Pipa ditanam pada kedalaman tertentu pada jarak satu meter tiap bedengan.
Air yang dipasok melalui pipa ini diatur pada waktu-waktu tertentu dan dapat dikontrol menggunakan aplikasi di telepon genggam.
Lalu, air dipompa dari kolam sekitar 20 meter x 5 meter dengan kedalaman satu meter.
Kolam penampungan ini mampu mengairi lahan seluas 40 hektare.
"Sumber air dipasok dari bendungan. Kami punya empat bendungan," jelasnya.
Program perpipaan produksi Netafim menggunakan GPS, sehingga dapat diketahui dengan segera jika ada kebocoran, dan tingkat kelembaban yang sesuai kebutuhan tanaman.
Manager Director Netafim Levy Schneider menambahkan sistem manajemen air ini telah dikembangkan di India dan Afrika Selatan, yang sering terkena krisis air.
Pemerintah India, jelasnya, membuat program peningkatan kesejahteraan petani dengan memanfaatkan sistem pengairan tetes senilai 100 juta dolar AS.
Pada tahun pertama, program ini berhasil meningkatkan produksi pertanian dengan nilai setara 100 juta dolar AS dan meningkatkan kesejahteraan 27.000 petani setempat.
Di Austalia juga, katanya, minim sumber daya air sehingga harus diatur dengan baik, melalui program penghematan air.
Menurut Levy, petani Australia membayar air untuk pengairan sebesar 800 dolar Australia atau Rp7,6 juta dengan kurs Rp9.536 per dolar Australia untuk setiap 1.000 meter kubik air.
"Petani membayar karena hasil pertanian mereka menguntungkan. Tiap hektare lahan memproduksi 19 ton jagung dengan tingkat basah 20 persen," katanya.
Dijelaskannya, baru 13 persen dari total lahan pertanian di dunia yang menggunakan sistem manajemen irigasi tetes.
Dengan sistem ini, disuplai kebutuhan tanaman seperti air, pupuk cair, dan nutrisi.
Baca juga: Wagub: petani Sulsel dimanja Alsintan Menteri Pertanian
Baca juga: Mentan: petani milenial sudah mencapai 500 ribu orang
Pewarta: Abdul Kadir
Editor: Kelik Dewanto
Copyright © ANTARA 2019
Tags: