Kemenkes: Dokter umum bisa beri layanan dasar kesehatan jiwa
7 Oktober 2019 19:11 WIB
Dirjen P2P Kemenkes Anung Sugihantono (tengah) dan Sekretaris Umum PDSKJI dr Agung Frijanto (kanan) dalam acara di Kemenkes, Jakarta Selatan, Senin (7/10,2019). (ANTARA/Prisca Triferna)
Jakarta (ANTARA) - Dokter umum akan dapat melakukan penanganan dan pencegahan masalah kesehatan jiwa karena keterbatasan jumlah dokter spesialis di tengah meningkatnya masalah kesehatan jiwa di Indonesia, kata Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan Anung Sugihantono.
"Dalam layanan pencegahan, teman-teman spesialis kesehatan jiwa yang jumlahnya masih terbatas memberikan kewenangan kepada dokter umum melalui pengembangan pendidikan yang kemudian disertifikasi oleh mereka untuk memberikan layanan kesehatan jiwa," katanya dalam temu media di Gedung Kemenkes, Jakarta Selatan pada Senin.
Menurut dia, ikatan profesi dokter spesialis kejiwaan dan pemerintah sudah menyetujui pemberian kewenangan tersebut, namun, masih diperlukan waktu untuk meresmikan langkah tersebut dalam regulasi yang ada.
Baca juga: Dirjen P2P usul penggantian sebutan RSJ untuk ubah stigma negatif
Idealnya, ungkap Anung, upaya promotif dan preventif dilakukan oleh dokter spesialis kesehatan jiwa.
Namun, katanya, dengan meningkatnya angka masalah kejiwaan tidak sebanding dengan total jumlah dokter spesialis.
Menurut angka dari Perhimpunan Dokter Spesialis Kodekteran Jiwa Indonesia (PDSKJI) , total 987 dokter spesialis kejiwaan dengan penyebaran 676 orang atau 69,94 persen berada di Pulau Jawa dan 311 orang atau sekitar 31,51 persen di luar Jawa.
Kebutuhan akan spesialis kejiwaan itu diakui oleh Sekretaris Umum Pengurus Pusat PDSKJI dr Agung Frijanto, yang hadir dalam acara temu media menjelang Hari Kesehatan Jiwa Sedunia yang diperingati setiap 10 Oktober.
Menurut dokter Rumah Sakit Islam Jakarta itu, kebutuhan pelayanan kesehatan jiwa sudah harus dilakukan di tingkat primer, seperti layanan di puskemas.
Padahal, ungkapnya, jumlah dokter tidak mencukupi untuk melakukan pelayanan preventif dan promotif kepada masyarakat.
"Jadi kita lakukan 'capacity building' untuk teman-teman dokter umum yang tentunya di layanan kesehatan primer dan teman-teman praktisi kesehatan jiwa lainnya, seperti psikologi klinis, okupansi terapis, kemudian tenaga ahli yang terkait kesehatan jiwa," ungkapnya.
Masalah kesehatan jiwa kini sudah menjadi salah satu program prioritas Kemenkes dan sudah dimasukkan sebagai indikator keluarga sehat oleh pemerintah.
Hal itu disebabkan salah satunya tren kenaikan masalah kejiwaan prevalensi gangguan mental emosional pada penduduk di atas 15 tahun mencapai 9,8 persen atau naik dari enam persen pada 2013, menurut data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018.
Baca juga: Pelayanan kesehatan jiwa tingkat puskemas dibutuhkan Indonesia
Baca juga: Hilangkan stigmatisasi terhadap "orang gila"
"Dalam layanan pencegahan, teman-teman spesialis kesehatan jiwa yang jumlahnya masih terbatas memberikan kewenangan kepada dokter umum melalui pengembangan pendidikan yang kemudian disertifikasi oleh mereka untuk memberikan layanan kesehatan jiwa," katanya dalam temu media di Gedung Kemenkes, Jakarta Selatan pada Senin.
Menurut dia, ikatan profesi dokter spesialis kejiwaan dan pemerintah sudah menyetujui pemberian kewenangan tersebut, namun, masih diperlukan waktu untuk meresmikan langkah tersebut dalam regulasi yang ada.
Baca juga: Dirjen P2P usul penggantian sebutan RSJ untuk ubah stigma negatif
Idealnya, ungkap Anung, upaya promotif dan preventif dilakukan oleh dokter spesialis kesehatan jiwa.
Namun, katanya, dengan meningkatnya angka masalah kejiwaan tidak sebanding dengan total jumlah dokter spesialis.
Menurut angka dari Perhimpunan Dokter Spesialis Kodekteran Jiwa Indonesia (PDSKJI) , total 987 dokter spesialis kejiwaan dengan penyebaran 676 orang atau 69,94 persen berada di Pulau Jawa dan 311 orang atau sekitar 31,51 persen di luar Jawa.
Kebutuhan akan spesialis kejiwaan itu diakui oleh Sekretaris Umum Pengurus Pusat PDSKJI dr Agung Frijanto, yang hadir dalam acara temu media menjelang Hari Kesehatan Jiwa Sedunia yang diperingati setiap 10 Oktober.
Menurut dokter Rumah Sakit Islam Jakarta itu, kebutuhan pelayanan kesehatan jiwa sudah harus dilakukan di tingkat primer, seperti layanan di puskemas.
Padahal, ungkapnya, jumlah dokter tidak mencukupi untuk melakukan pelayanan preventif dan promotif kepada masyarakat.
"Jadi kita lakukan 'capacity building' untuk teman-teman dokter umum yang tentunya di layanan kesehatan primer dan teman-teman praktisi kesehatan jiwa lainnya, seperti psikologi klinis, okupansi terapis, kemudian tenaga ahli yang terkait kesehatan jiwa," ungkapnya.
Masalah kesehatan jiwa kini sudah menjadi salah satu program prioritas Kemenkes dan sudah dimasukkan sebagai indikator keluarga sehat oleh pemerintah.
Hal itu disebabkan salah satunya tren kenaikan masalah kejiwaan prevalensi gangguan mental emosional pada penduduk di atas 15 tahun mencapai 9,8 persen atau naik dari enam persen pada 2013, menurut data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018.
Baca juga: Pelayanan kesehatan jiwa tingkat puskemas dibutuhkan Indonesia
Baca juga: Hilangkan stigmatisasi terhadap "orang gila"
Pewarta: Prisca Triferna Violleta
Editor: M. Hari Atmoko
Copyright © ANTARA 2019
Tags: