Jakarta (ANTARA) - Tidak hanya orang dewasa, remaja pun rentan mengalami depresi yang dipicu oleh beberapa hal di antaranya adalah pubertas dini dan penggunaan media sosial.

Pakar Ilmu Sosial, Budaya dan Komunikasi, Dr. Devie Rachmawati, M. Hum., CPR menjelaskan saat ini banyak anak-anak yang masih duduk di bangku sekolah dasar yang sudah mengalami masa puber.

"Sekarang anak pubertas itu lebih awal. Dulu mungkin baru pas SMP dapat menstruasi pertama, sekarang anak kelas 1 SD sudah ada yang puber. Ini yang menyebabkan remaja perempuan jauh lebih stres dibanding dengan laki-laki," ujar Devie dalam acara "Sunsilk #TakTerhentikan" di Jakarta, Senin.

Penyebab kedua adalah media sosial. Menurut Devie, terlalu sering menggunakan media sosial membuat para remaja terobsesi mendapatkan perhatian lebih dari orang lain.

"Banyak anak sekarang yang jadi zombi digital, mereka hadir di sana tanpa tahu esensinya. Mereka sangat tergantung pada validitas sosial, mereka terobsesi untuk dapat liked sebanyak-banyaknya," tuturnya.

Pemicu lainnya adalah dorongan untuk selalu tampil menarik. Para remaja putri, khususnya, percaya bahwa penampilan adalah segalanya dan merasa lebih dihargai saat tampil menarik.

"Akhirnya mereka sibuk untuk tampil dengan casing terbaik daripada bersaing dengan temannya. Semakin sering melihat sosial media akan jadi membandingkan diri dengan orang lain.Tapi akhirnya memang ada dua efek yakni bertarung untuk menjadi lebih baik atau mengelabui publik," kata Devie.

Ia juga mengatakan bahwa depresi adalah gangguan penyakit terbesar ketiga di dunia yang dapat menyebabkan kematian. Oleh karena itu, sebaiknya remaja selalu diajak untuk bertukar pikiran atau didengar keluh kesahnya.

"Anak-anak kita tidak bisa sendirian, mereka perlu dibantu karena generasi sekarang lebih senang dengan orang yang sama pemikirannya dengan mereka," ujarnya.

Devie pun menekankan peran orang tua untuk memberikan bimbingan dan perhatiannya agar anak-anak mereka tidak merasa sendiri.

"Kalau Anda merasa sendirian yang terjadi adalah hal tadi kabur atau bunuh diri yang menjadi opsi saat ini. Sekarang tidak perlu menjadi broken home dulu untuk jadi broken heart. Itu yang perlu dipahami dan tidak semua anak yang broken home lebih rentan," lanjutnya.

Baca juga: Peneliti ungkap polusi udara picu risiko bunuh diri pada anak

Baca juga: Ini yang terjadi pada orang depresi