Ada ancaman resesi, peneliti ingatkan intensifkan diversifikasi ekspor
7 Oktober 2019 12:20 WIB
Ilustrasi: Pekerja melakukan aktivitas bongkar muat di Pelabuhan Bongkar Muat Tanjung Priok milik Pelindo 2, Jakarta, Senin (16/9/2019). ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja/ama.
Jakarta (ANTARA) - Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Andry Satrio Nugroho mendorong pemerintah melakukan diversifikasi produk dan negara tujuan ekspor untuk mengantisipasi resesi ekonomi.
"Resesi akan terjadi besar kemungkinan di dua negara yang terlibat perang dagang," katanya di Jakarta, Senin.
Kedua negara yang mungkin mengalami resesi itu adalah Amerika Serikat dan China, yang keduanya, kata dia, merupakan mitra dagang besar Indonesia.
Peneliti muda itu melanjutkan komoditas perkebunan dan tambang dari Indonesia perlu diekspor ke negara-negara nontradisional.
Negara-negara nontradisional itu, kata dia, seperti Afrika dan Amerika Latin.
Sementara itu, produk yang diekspor perlu mulai beralih ke komoditas non-Sumber Daya Alam (SDA) dan jika pun masih mengandalkan SDA, investasi di industri pengolahan atau hilirisasi perlu ditingkatkan.
China, lanjut dia, banyak mengimpor komoditas perkebunan dan tambang yang merupakan komoditas ekspor utama Indonesia.
"Indonesia akan mengalami perlambatan perekonomian juga akibat adanya ini (resesi)," katanya.
Berbeda dengan China, Amerika Serikat kebanyakan mengimpor kebanyakan produk tekstil Indonesia.
Untuk itu, Andry mengingatkan Indonesia perlu berbenah dengan industri tekstilnya jika ingin mengambil momentum, karena di saat yang bersamaan tekstil dari China akan dikenakan bea impor tinggi oleh Amerika Serikat.
"Tentu itu semua harus didukung dengan kondisi makro ekonomi perlu dijaga agar tetap stabil," katanya.
Diversifikasi produk dan negara tujuan ekspor, kata dia, perlu ditingkatkan karena resesi diperkirakan berasal dari sektor riil yang mempengaruhi perdagangan.
Meski begitu, Andry menyebut Indonesia tidak perlu khawatir karena kontribusi sektor perdagangan terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia termasuk rendah di Asia Tenggara.
"Mungkin ini di satu sisi sangat buruk tapi juga menyelamatkan kita dari beberapa krisis, salah satunya krisis 2008," imbuhnya.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat nilai ekspor Indonesia Januari-Agustus 2019 secara kumulatif mencapai 110,07 miliar dolar AS atau menurun 8,28 persen dibanding periode yang sama tahun 2018.
Dari perolehan itu, nilai ekspor nonmigas paling besar mencapai 101.480 miliar dolar AS.
Pada periode Januari-Agustus 2019, China menjadi negara tujuan utama ekspor RI dengan nilai mencapai 15.947,9 juta dolar AS atau 15,71 persen.
Posisi kedua diikuti Amerika Serikat dengan nilai 11.513,5 juta dolar AS atau 11,35 persen dan Jepang dengan 9.091,5 juta dolar AS (8,96 persen).
Komoditas utama yang diekspor ke China pada periode tersebut adalah batubara, lignit, dan minyak kelapa sawit.
"Resesi akan terjadi besar kemungkinan di dua negara yang terlibat perang dagang," katanya di Jakarta, Senin.
Kedua negara yang mungkin mengalami resesi itu adalah Amerika Serikat dan China, yang keduanya, kata dia, merupakan mitra dagang besar Indonesia.
Peneliti muda itu melanjutkan komoditas perkebunan dan tambang dari Indonesia perlu diekspor ke negara-negara nontradisional.
Negara-negara nontradisional itu, kata dia, seperti Afrika dan Amerika Latin.
Sementara itu, produk yang diekspor perlu mulai beralih ke komoditas non-Sumber Daya Alam (SDA) dan jika pun masih mengandalkan SDA, investasi di industri pengolahan atau hilirisasi perlu ditingkatkan.
China, lanjut dia, banyak mengimpor komoditas perkebunan dan tambang yang merupakan komoditas ekspor utama Indonesia.
"Indonesia akan mengalami perlambatan perekonomian juga akibat adanya ini (resesi)," katanya.
Berbeda dengan China, Amerika Serikat kebanyakan mengimpor kebanyakan produk tekstil Indonesia.
Untuk itu, Andry mengingatkan Indonesia perlu berbenah dengan industri tekstilnya jika ingin mengambil momentum, karena di saat yang bersamaan tekstil dari China akan dikenakan bea impor tinggi oleh Amerika Serikat.
"Tentu itu semua harus didukung dengan kondisi makro ekonomi perlu dijaga agar tetap stabil," katanya.
Diversifikasi produk dan negara tujuan ekspor, kata dia, perlu ditingkatkan karena resesi diperkirakan berasal dari sektor riil yang mempengaruhi perdagangan.
Meski begitu, Andry menyebut Indonesia tidak perlu khawatir karena kontribusi sektor perdagangan terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia termasuk rendah di Asia Tenggara.
"Mungkin ini di satu sisi sangat buruk tapi juga menyelamatkan kita dari beberapa krisis, salah satunya krisis 2008," imbuhnya.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat nilai ekspor Indonesia Januari-Agustus 2019 secara kumulatif mencapai 110,07 miliar dolar AS atau menurun 8,28 persen dibanding periode yang sama tahun 2018.
Dari perolehan itu, nilai ekspor nonmigas paling besar mencapai 101.480 miliar dolar AS.
Pada periode Januari-Agustus 2019, China menjadi negara tujuan utama ekspor RI dengan nilai mencapai 15.947,9 juta dolar AS atau 15,71 persen.
Posisi kedua diikuti Amerika Serikat dengan nilai 11.513,5 juta dolar AS atau 11,35 persen dan Jepang dengan 9.091,5 juta dolar AS (8,96 persen).
Komoditas utama yang diekspor ke China pada periode tersebut adalah batubara, lignit, dan minyak kelapa sawit.
Pewarta: Dewa Ketut Sudiarta Wiguna
Editor: Risbiani Fardaniah
Copyright © ANTARA 2019
Tags: