KPAI sayangkan sikap Disdik Manado atas kasus siswa meninggal
6 Oktober 2019 16:36 WIB
Suasana JIS pada Kamis 17 April 2014. Pengamanan fisik sekolah dengan standar internasional itu sangat ketat. (antaranews.com/Lia Wanadriani) (Istimewa)
Jakarta (ANTARA) - Komisioner BIdang Pendidikan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Retno Listyarti menyayangkan sikap pernyataan pejabat Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Manado di media daring atas kasus siswa salah satu SMP swasta yang meninggal setelah menjalani hukuman fisik akibat terlambat sekolah
"Pejabat tersebut menyatakan pihaknya akan memberikan pendampingan kepada semua, baik oknum guru maupun sekolah," kata melalui pesan tertulis yang diterima di Jakarta, Minggu.
Retno mengatakan sikap tersebut tidak sesuai dengan Pasal 39 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Pasal tersebut menyatakan pemerintah pusat dan pemerintah daerah wajib memberikan pelindungan hukum kepada guru ketika menjadi korban, bukan pelaku pidana.
Dinas Pendidikan dan Kebudayaan seharusnya melakukan pemeriksaan kepada pihak sekolah dan menonaktifkan oknum guru yang diduga sebagai pelaku penyebab korban meninggal selama proses penyelidikan oleh polisi.
"Hal itu untuk menimbulkan efek jera dan terapi kejut bagii sekolah lain yang mungkin juga masih menerapkan hukuman fisik kepada siswanya," tuturnya.
Baca juga: KPAI kecam sekolah yang masih menerapkan hukuman fisik
Menurut Retno, sekolah korban juga seharusnya mendapatkan teguran keras, bahkan sanksi, atas peristiwa tersebut karena diduga masih menerapkan disiplin dengan pendekatan hukuman fisik yang membahayakan keselamatan anak.
"Kepala SMP tempat korban bersekolah membenarkan korban dan tujuh anak lainnya hari itu mendapatkan hukuman fisik karena terlambat sekolah. Dari penjelasan tersebut, diduga kuat hukuman fisik bagi anak yang terlambat biasa dilakukan," katanya.
Siswa salah satu SMP swasta di Kota Manado, Sulawesi Utara meninggal diduga akibat kelelahan setelah menjalani hukuman fisik karena datang terlambat ke sekolah.
Korban bersama tujuh siswa lainnya yang terlambat dihukum dijemur di halaman sekolah selama 15 menit, kemudian harus keliling lapangan halaman sekolah sebanyak 20 kali.
Baru empat kali putaran, korban tersungkur dan tidak sadarkan diri. Korban sempat dilarikan ke Rumah Sakit Angkatan Udara, kemudian dirujuk ke rumah sakit lain hingga akhirnya dinyatakan meninggal di Rumah Sakit Malalayang.
Baca juga: KPAI: Eksploitasi anak untuk kepentingan politik bisa diancam hukuman 5 tahun
Baca juga: KPAI apresiasi hukuman mati pelaku kejahatan seksual
"Pejabat tersebut menyatakan pihaknya akan memberikan pendampingan kepada semua, baik oknum guru maupun sekolah," kata melalui pesan tertulis yang diterima di Jakarta, Minggu.
Retno mengatakan sikap tersebut tidak sesuai dengan Pasal 39 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Pasal tersebut menyatakan pemerintah pusat dan pemerintah daerah wajib memberikan pelindungan hukum kepada guru ketika menjadi korban, bukan pelaku pidana.
Dinas Pendidikan dan Kebudayaan seharusnya melakukan pemeriksaan kepada pihak sekolah dan menonaktifkan oknum guru yang diduga sebagai pelaku penyebab korban meninggal selama proses penyelidikan oleh polisi.
"Hal itu untuk menimbulkan efek jera dan terapi kejut bagii sekolah lain yang mungkin juga masih menerapkan hukuman fisik kepada siswanya," tuturnya.
Baca juga: KPAI kecam sekolah yang masih menerapkan hukuman fisik
Menurut Retno, sekolah korban juga seharusnya mendapatkan teguran keras, bahkan sanksi, atas peristiwa tersebut karena diduga masih menerapkan disiplin dengan pendekatan hukuman fisik yang membahayakan keselamatan anak.
"Kepala SMP tempat korban bersekolah membenarkan korban dan tujuh anak lainnya hari itu mendapatkan hukuman fisik karena terlambat sekolah. Dari penjelasan tersebut, diduga kuat hukuman fisik bagi anak yang terlambat biasa dilakukan," katanya.
Siswa salah satu SMP swasta di Kota Manado, Sulawesi Utara meninggal diduga akibat kelelahan setelah menjalani hukuman fisik karena datang terlambat ke sekolah.
Korban bersama tujuh siswa lainnya yang terlambat dihukum dijemur di halaman sekolah selama 15 menit, kemudian harus keliling lapangan halaman sekolah sebanyak 20 kali.
Baru empat kali putaran, korban tersungkur dan tidak sadarkan diri. Korban sempat dilarikan ke Rumah Sakit Angkatan Udara, kemudian dirujuk ke rumah sakit lain hingga akhirnya dinyatakan meninggal di Rumah Sakit Malalayang.
Baca juga: KPAI: Eksploitasi anak untuk kepentingan politik bisa diancam hukuman 5 tahun
Baca juga: KPAI apresiasi hukuman mati pelaku kejahatan seksual
Pewarta: Dewanto Samodro
Editor: Masnun
Copyright © ANTARA 2019
Tags: