Yogyakarta (ANTARA News) - Perlu ada hukuman mati terhadap koruptor di Indonesia, mengingat korupsi sebagai kejahatan yang luar biasa serta merugikan bangsa dan negara sudah sangat parah dan sulit dicegah apalagi diberantas hingga tuntas. "Korupsi di tanah air ibarat kanker sudah mencapai stadium empat, sehingga wajar jika muncul wacana perlu ada hukuman mati terhadap terpidana korupsi kelas kakap yang merugikan rakyat dan negara," kata praktisi hukum dari Yogyakarta, Budi Hartono SH, Minggu. Praktisi hukum senior dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta ini menilai Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi belum memberikan efek jera bagi terpidana pelaku korupsi. "Mereka sepertinya tidak merasa malu, malah bangga menjalani hukuman penjara karena korupsi, sementara kerugian negara akibat perbuatannya telah menyengsarakan rakyat," katanya. Karena itu, perlu ada revisi terhadap undang-undang yang ada khususnya undang-undang tentang tindak pidana korupsi, dengan memberikan hukuman maksimal berupa hukuman mati terhadap terpidana korupsi. "Sehingga dengan undang-undang tersebut tidak terkesan diskriminatif, karena selama ini yang bisa dijerat dengan hukuman mati hanya terpidana kasus pembunuhan, kasus narkoba dan terorisme. Sementara terpidana kasus korupsi hukuman maksimalnya hanya 15 tahun," kata Budi Hartono. Dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi pada Pasal 6 disebutkan bahwa pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun, serta pidana denda paling sedikit Rp150.000.000 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp750.000.000 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah).(*)