Cirebon (ANTARA News) - Ribuan petani garam di Pantura Cirebon dan Indramayu, khawatir harga garam di tingkat petani akan anjlok sampai Rp100/kg, seperti terjadi tahun lalu, karena menjelang panen raya sudah mulai tanda-tanda penurunan harga yang tajam, apalagi petani tidak punya gudang penyimpanan. "Menjelang puncak panen, harga garam makin merosot karena hasil panen sudah tidak bisa lagi disimpan sehingga dijual pada spekulan yang punya gudang, akibatnya, harga garam saat ini merosot drastis hingga mencapai Rp200-Rp220/kg, kami takut anjlog sampai di bawah biaya produksi Rp150/kg," kata Warsim (58), di Desa Pangeragan Kecamatan Pengenan Kabupaten Cirebon, Minggu. Hal senada dikatakan petani garam di Kecamatan Losari Kabupaten Cirebon, Arjani (40), yang mengaku sulit menjual hasil panen garam pada musim kemarau akibat dari para spekulan yang menimbun garam di gudang-gudang penyimpanan mereka yang terdapat di kota-kota besar. "Biasanya garam-garam dari wilayah Pantura dipergunakan untuk industri tekstil di Bandung dan Jakarta. Namun, kami tidak bisa mengirimkan langsung garam-garam hasil panen ke pabrik-pabrik. Biasanya, pabrik tekstil dipasok oleh para distributor yang membeli dari kami," kata Arjani. Gudang Mohamad Insyaf, Ketua Asosiasi Petani Garam Kabupaten Cirebon meminta Pemerintah membuat gudang menyimpan garam dengan sistem resi gudang seperti halnya yang dilakukan pada komoditi padi sehingga petani garam tidak akan bingung menyimpan garam, bahkan bukti penyimpanan barang bisa dijadikan agunan untuk mendapat pinjaman dari pegadaian. "Jangan sampai nasib petani garam selalu terpuruk, padahal Pemerintah punya kemampuan untuk membantu rakyat daripada jadi pengangguran," katanya. Hal serupa terjadi di pusat produksi garam Indramayu di Blok Koramil, Desa Eretan Wetan, Kecamatan Losarang, dimana harga garam di tingkat petani saat ini telah turun menjadi Rp220 sampai Rp240/Kg sementara satu bulan lalu masih dari Rp350/kg, walaupun saat ini panen garam baru berlangsung 30 persen. Sutarno, petani setempat memperkirakan, jika panen garam tengah memasuki masa puncak sekitar pertengahan Agustus sampai September, maka harga garam di tingkat petani bisa jatuh hingga hanya sebesar Rp100/Kg atau sama dengan satu butir permen. "Nantinya harga ditentukan sepihak oleh tengkulak karena tidak ada harga dasar dan lembaga yang menjamin harga seperti halnya beras," katanya. Ia mengatakan, kalau Pemerintah ingin membantu petani miskin maka sudah sejak lama Perum Garam seharusnya membuat gudang untuk menyerap hasil garam saat panen raya. "Berganti-ganti presiden tetap saja petani garam tidak pernah terlindungi," katanya. Ketua Asosiasi Petani Garam Losarang H Juendi, mengatakan, anjloknya harga garam selalu terjadi setiap memasuki masa panen raya garam karena produksi yang berlimpah sementara petani harus berhadapan dengan kekuatan ekonomi yang besar sehingga tidak ada daya tawar. "Hukum pasar berlaku, kalau suplai melimpah maka harga akan jatuh, sehingga sudah saatnya Pemerintah turun tangan," katanya. Ia mengungkapkan di Kecamatan Losarang, sedikitnya terdapat 5.000 petani yang menggantungkan hidupnya dari produksi garam dan mereka sebenarnya bisa lebih sejahtera jika ada perbaikan tata niaga garam.(*)