Pengamat: Pemerintah harus perdalam edukasi soal limbah makanan
5 Oktober 2019 00:48 WIB
Salah satu pendiri IE2I Satya Hangga Yudha (kedua kiri) dalam diskusi di Jakarta Selatan, Jumat (4/10). (ANTARA/Prisca Triferna)
Jakarta (ANTARA) - Masyarakat perlu mendapatkan edukasi lebih lanjut akan dampak limbah organik terhadap isu perubahan iklim yang akan berdampak pada kehidupan ke depannya, kata pendiri Indonesian Energy and Environmental Institute (IE2I) Satya Hangga Yudha Widya Putra.
"Sebenarnya sudah dilakukan oleh pemerintah edukasi akan limbah, tapi limbah makanan perlu diedukasi lebih lanjut di tingkat SD, SMP, SMA karena ini hal yang cukup sederhana. Sebenarnya isu ini sudah disentuh oleh sekolah tapi tidak terlalu dalam," kata Hangga ketika ditemui dalam diskusi perihal pemborosan makanan di Jakarta Selatan pada Jumat malam.
Upaya pemerintah, termasuk Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) yang berwenang akan masalah limbah, sudah cukup bagus sampai sejauh ini, kata Ketua Bidang Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Rumah Millennials itu.
Baca juga: Pengamat: Masyarakat kurang tahu dampak limbah makanan untuk iklim
Baca juga: Limbah makanan dominasi sampah di TPST Bantar Gebang
Diperlukan pemahaman lebih lanjut tentang limbah, baik organik dan anorganik, serta dampaknya terhadap lingkungan hidup dan perubahan iklim yang menjadi perhatian banyak negara saat ini.
Kurangnya edukasi mendalam akan limbah mungkin menjadi salah satu alasan masih banyak orang belum mengetahui dampaknya akan perubahan iklim.
Padahal, kata Hangga, gas metana yang dihasilkan oleh sisa makanan yang bercampur di tempat pembuangan akhir sangat berdampak terhadap pemanasan global yang ikut menyumbang perubahan iklim.
Di Indonesia sendiri, kesadaran akan limbah organik berpengaruh terhadap perubahan iklim sendiri masih belum terlalu besar, ujarnya.
Sebagai negara kedua yang paling banyak membuang makanan, sekitar 300 kg per tahun, menurut data badan pangan dan pertanian FAO 2016-2017, Indonesia seharusnya sudah mulai mengambil langkah nyata untuk membuat masyarakat menghentikan kebiasaan pemborosan pangan.
"Pemanasan global disebabkan oleh emisi gas rumah kaca yang disebabkan oleh berbagai sektor, tapi karena di Indonesia kenaikan itu disebabkan oleh sektor kehutanan, energi dan industri, maka lebih banyak fokus di bidang tersebut dibanding limbah," ujarnya.
Indonesia ikut meratifikasi Perjanjian Paris pada 2015 yang menegaskan komitmen pemerintah untuk mengurangi emisi demi menahan laju peningkatan temperatur global dan membatasi dampak perubahan iklim secara keseluruhan.*
Baca juga: Laporan: 66 ton makanan dibuang setiap detik sampai 2030
Baca juga: 10 fakta global tentang makanan yang terbuang
"Sebenarnya sudah dilakukan oleh pemerintah edukasi akan limbah, tapi limbah makanan perlu diedukasi lebih lanjut di tingkat SD, SMP, SMA karena ini hal yang cukup sederhana. Sebenarnya isu ini sudah disentuh oleh sekolah tapi tidak terlalu dalam," kata Hangga ketika ditemui dalam diskusi perihal pemborosan makanan di Jakarta Selatan pada Jumat malam.
Upaya pemerintah, termasuk Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) yang berwenang akan masalah limbah, sudah cukup bagus sampai sejauh ini, kata Ketua Bidang Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Rumah Millennials itu.
Baca juga: Pengamat: Masyarakat kurang tahu dampak limbah makanan untuk iklim
Baca juga: Limbah makanan dominasi sampah di TPST Bantar Gebang
Diperlukan pemahaman lebih lanjut tentang limbah, baik organik dan anorganik, serta dampaknya terhadap lingkungan hidup dan perubahan iklim yang menjadi perhatian banyak negara saat ini.
Kurangnya edukasi mendalam akan limbah mungkin menjadi salah satu alasan masih banyak orang belum mengetahui dampaknya akan perubahan iklim.
Padahal, kata Hangga, gas metana yang dihasilkan oleh sisa makanan yang bercampur di tempat pembuangan akhir sangat berdampak terhadap pemanasan global yang ikut menyumbang perubahan iklim.
Di Indonesia sendiri, kesadaran akan limbah organik berpengaruh terhadap perubahan iklim sendiri masih belum terlalu besar, ujarnya.
Sebagai negara kedua yang paling banyak membuang makanan, sekitar 300 kg per tahun, menurut data badan pangan dan pertanian FAO 2016-2017, Indonesia seharusnya sudah mulai mengambil langkah nyata untuk membuat masyarakat menghentikan kebiasaan pemborosan pangan.
"Pemanasan global disebabkan oleh emisi gas rumah kaca yang disebabkan oleh berbagai sektor, tapi karena di Indonesia kenaikan itu disebabkan oleh sektor kehutanan, energi dan industri, maka lebih banyak fokus di bidang tersebut dibanding limbah," ujarnya.
Indonesia ikut meratifikasi Perjanjian Paris pada 2015 yang menegaskan komitmen pemerintah untuk mengurangi emisi demi menahan laju peningkatan temperatur global dan membatasi dampak perubahan iklim secara keseluruhan.*
Baca juga: Laporan: 66 ton makanan dibuang setiap detik sampai 2030
Baca juga: 10 fakta global tentang makanan yang terbuang
Pewarta: Prisca Triferna Violleta
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2019
Tags: