Jakarta (ANTARA) - Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Padjajaran, Bandung, Prof Dr Romli Atmasasmita mengingatkan agar tidak menjerumuskan Presiden Joko Widodo dengan mendesak menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) untuk menganulir revisi UU KPK yang baru disahkan oleh DPR.

"Mereka yang mendorong Presiden untuk membuat Perppu pembatalan revisi UU KPK menjerumuskan Presiden ke jurang kehancuran lembaga kepresidenan," kata Romli dalam keterangan tertulisnya, di Jakarta, Jumat.

Baca juga: Analis sebut penerbitan Perppu KPK berpotensi timbulkan konflik baru

Baca juga: Pakar: Tidak ada kegentingan memaksa, Perppu KPK bisa inkonstitusional

Baca juga: Guru Besar LIPI: Terbitkan Perppu KPK sebelum pembentukan kabinet


Romli mengingatkan, penerbitan Perppu KPK sebelum revisi UU KPK sah diundangkan, maka akan melanggar UU No.12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

"Jika Presiden membuat Perppu sebelum sah revisi UU diundangkan, maka Presiden melanggar UU dan dapat diimpeach," ucapnya.

Perumus UU KPK tahun 2002 ini menyarankan, Presiden segera untuk mengundangkan hasil revisi UU KPK yang telah disahkan DPR pertengahan September 2019 lalu, dan mempercepat pelantikan pimpinan KPK yang baru.

"Saran-saran saya agar Presiden undangkan saja (revisi UU KPK) dan percepat pelantikan pimpinan KPK baru," tuturnya.

Baca juga: Istana temukan salah ketik dalam revisi UU KPK

Baca juga: Golkar masih monitor uji materi MK terkait revisi UU KPK

Baca juga: Peneliti : Publik ingin Perppu yang batalkan UU KPK terbaru


Pakar hukum tata negara dari Universitas Indonesia (UI), Indriyanto Seno Adji berpendapat penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) terkait UU KPK yang baru disahkan DPR bisa inkonstitusional bila tidak ada kegentingan yang memaksa.

"Meskipun penerbitan Perppu merupakan hak prerogatif Presiden dan bersifat subjektif, tetapi penerbitan Perppu terhadap UU KPK menjadi tidak konstitusional. Sebab, Perppu tersebut tidak memenuhi syarat kondisi 'kegentingan yang memaksa', sebagaimana parameter yang disyaratkan Pasal 22 UUD 1945 dan Putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2009. Tidak ada kegentingan memaksa, yang mengharuskan Presiden menerbitkan Perppu," kata Indriyanto, di Jakarta, Kamis (3/10).

Selain itu, kata dia, bila Presiden menerbitkan Perppu untuk membatalkan UU KPK, sehingga UU yang baru itu menjadi tidak sah, maka akan terjadi overlapping (tumpang tindih) dengan putusan MK nanti.

Apalagi, lanjut dia, bila akhirnya putusan MK nanti menolak permohonan uji materi, yang artinya tetap mengesahkan UU KPK yang baru.

"Itu artinya tidak ada kepastian hukum, karena ada tumpang tindih dan saling bertentangan mengenai polemik objek yang sama, yaitu UU KPK," ucap Indriyanto.