Lebak (ANTARA) - Areal persawahan yang mengalami gagal panendi Kabupaten Lebak, Provinsi Banten, bertambah 138 hektare hingga total sampai Kamis (3/10) seluas 613 hektare tersebar di sejumlah kecamatan, akibat kemarau panjang.

"Semua areal persawahan yang gagal panen itu mengalami kekeringan akibat kemarau panjang," kata Supardi, seorang Pelaksana Data Statistik Tanaman Pangan Dinas Pertanian dan Perkebunan (Distanbun) Lebak,Kamis.

Baca juga: Petani Sigi masih merana, meski Gempa Palu setahun berlalu

Meskipun areal persawahan di Kabupaten Lebak mengalami gagal panen seluas 613 hektare, namun kemarau panjang tersebut tidak menimbulkan kerawanan pangan.

Sebab, sisa angka tanam sampai Oktober 2019 seluas 18.049 hektare dan dipastikan panen sampai Desember mendatang.

Baca juga: Kekeringan, 111,5 hektare padi di Bangka Selatan gagal panen

Sisa angka ditanam itu, kata dia, bisa diselamatkan hingga panen melalui pompanisasi karena memiliki sumber potensi air permukaan.

Namun, sebaliknya areal persawahan yang gagal panen itu akibat tidak adanya jaringan irigasi dan juga tidak memiliki sumber air permukaan, ujarnya.

Baca juga: Petani Lamongan terima klaim asuransi gagal panen Rp3,6 miliar.

"Kami terus mendorong gerakan tanam melalui pompanisasi dengan menyedot air permukaan dan dialiri ke areal persawahan," katanya menjelaskan.

Ia mengapresiasi, produksi pangan sampai awal Oktober 2019 mencapai 205.208 ton dengan konsumsi beras warga Lebak rata-rata 143.724 ton per tahun dari 1,2 juta penduduk.

Sedangkan, produksi beras hingga Agustus 2019 surplus 109.393 ton atau mencukupi kebutuhan untuk sembilan bulan ke depan.

Karena itu, produksi pangan dengan jumlah penduduk maka dinyatakan surplus sembilan bulan.

"Kami menjamin persediaan pangan masih melimpah dan mencukupi hingga 2020," jelasnya.

Sementara itu, Ahmad (55) seorang petani di Kecamatan Wanasalam, Kabupaten Lebak mengatakan bahwa kekeringan yang menyebabkan gagal panen itu akibat jaringan irigasi di daerahnya mengalami kerusakan.

Selain itu juga di wilayahnya tidak ada potensi sumber air permukaan, sehingga petani tidak bisa dilakukan pompanisasi.

"Kami mengalami kerugian sekitar Rp20 juta dari angka tanam seluas dua hektare," katanya.