Jakarta (ANTARA) - Tenaga ahli kelembagaan desk Papua Bappenas Moksen Idris Sirfefa menilai bahwa pelaku kekerasan di wilayah Papua, seperti Wamena, Jayapura, dan Manokwari bukan berasal dari kalangan terpelajar.

"Menyangkut kerusuhan yang ada di Jayapura, Wamena, Manokwari, yang bakar-bakar dan sebagainya itu bukan dari kalangan terpelajar," ujar Moksen dalam sebuah diskusi di Jakarta, Kamis.

Baca juga: Pemerintah perlu pikirkan generasi muda selesaikan konflik Papua

Dia menilai hal itu bisa teridentifikasi dari pola yang dilakukan oleh para pelaku kekerasan di Bumi Cenderawasih tersebut.

Menurut Moksen, jika pelaku berasal dari kalangan terpelajar, maka tidak mungkin mereka bertindak anarkis hingga melampuai batas, seperti melakukan pembakaran gedung atau pembunuhan.

Baca juga: 835 mahasiswa Papua eksodus ke Papua ingin kembali belajar

Perilaku "bar-bar" seperti itu, kata dia, hanya dilakukan oleh orang-orang yang kecerdasannya tidak tercerahkan secara kognitif maupun spiritual.

"Kalangan yang tidak terpelajar itu setelah kejadian baru menyadari dampaknya, ternyata tidak ada gula pagi ini. Dia tidak berpikir nanti efek dari kerusuhan itu, memang tidak terpelajar," ucap Moksen.

Baca juga: Pemkab Jayapura minta mahasiswa kuliah di luar Papua tetap belajar

"Kalau mahasiswa mungkin cuma bakar ban setelah itu selesai, tapi kalau bakar bangunan, membunuh orang, itu bukan kelompok akal sehat," kata dia.

Dia mengatakan peningkatan kecerdasan terhadap masyarakat Papua harus terus dilakukan secara berkelanjutan, baik oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah.

Baca juga: Papua Terkini - Redam konflik Papua tanggung jawab bersama

Hal ini penting guna mencegah terjadinya konflik susulan yang disebabkan oleh kurangnya wawasan dan pemahaman masyarakat Papua.

Selain itu, masyarakat sipil, termasuk aktivis kemanusiaan maupun lembaga swadaya masyarakat juga bisa berperan aktif untuk terus mencerdaskan masyarakat Papua.

"Jadi sambil melaksanakan program-program lembaga, ada namanya pendampingan, pada saat pendampingan itulah kita memberikan semacam wawasan tentang siapa mereka, dan di samping mereka ada orang lain di luar mereka. Itu adalah orang-orang yang sebangsa, yang senasib," ucap Moksen.