ESDM: Indonesia butuh fasilitas pemurnian nikel bagi kendaraan listrik
2 Oktober 2019 22:35 WIB
Kasubdit Pengawasan Usaha Eksplorasi Mineral Kementerian ESDM, Andri Budhiman Firmanto di Jakarta, Rabu (2/10/2019). ANTARA/Aji Cakti
Jakarta (ANTARA) - Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengungkapkan bahwa Indonesia membutuhkan fasilitas pemurnian bijih nikel kadar rendah dengan teknologi Hidrometalurgi guna mendukung percepatan industri mobil listrik.
"Dalam mata rantai peningkatan nilai tambah nikel, yang belum ada di Indonesia adalah fasilitas pemurnian (smelter) untuk mendukung industri kendaraan listrik," ujar Kasubdit Pengawasan Usaha Eksplorasi Mineral Kementerian ESDM, Andri Budhiman Firmanto di Jakarta, Rabu.
Andri menjelaskan bahwa kalau teknologi hidrometalurgi HPAL (High Pressure Acid Leaching) itu berbeda dari pirometalurgi dalam proses pemurnian bijih nikel. Kalau pirometalirgi analogi sederhananya tanah dibakar sehingga menjadi logam karena tanahnya akan mengalami proses metalisasi dan menjadi logam.
Baca juga: Luhut: China-Korea ingin bangun pabrik karena larangan ekspor nikel
Sedangkan dengan menggunakan teknologi Hidrometalurgi HPAL (High Pressure Acid Leaching), bijih nikel kadar rendah dapat dimurnikan menjadi produk Mixed Hydroxide Precipitate, Nickel Sulfat dan Cobalt Sulfat sebagai bahan baku precursor.
Berdasarkan kajian Kemenko Bidang Kemaritiman, 40 persen dari total biaya manufaktur mobil listrik adalah dari baterai.Baterai kendaraan listrik menggunakan tipe baterei lithium ion dengan bahan baku katodanya adalah Nikel, Cobalt,Lithium, Mangan, dan Aluminium.
Menurut Andri, fasilitas dengan teknologi Hidrometalurgi HPAL Ini belum ada di Indonesia sehingga hal itulah yang menyebabkan Kementerian ESDM memberlakukan pelarangan ekspor nikel pada tahun 2020 dan momentumnya dinilai pas dengan kebijakan pemerintah untuk mempercepat pembangunan industri kendaraan listrik di dalam negeri.
Baca juga: BI Sulsel: 90 persen cadangan nikel dunia di Sulampua
Dalam paparannya, Kasubdit Pengawasan Usaha Eksplorasi Mineral tersebut menjelaskan bahwa terdapat enam rencana pembangunan fasilitas pemurnian bijih nikel kadar rendah dengan teknologi hidrometalurgi, antara lain dua proyek berlokasi di Sulawesi Tenggara, dua proyek di Sulawesi Tengah, dan masing-masing satu proyek di Maluku Utara serta Banten.
Indonesia merupakan salah satu negara yang mempunyai bahan baku terbaik di dunia untuk memproduksi baterai lithium ion, yaitu bijih nikel kadar rendah atau disebut limonite dengan kandungan nickel (0,8-1,5 persen) dan cobalt yang tinggi (0.07-0,2 persen).
Pemanfaatan nikel kadar rendah menjadi bahan baku baterai menjadi prioritas sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2019 tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis BateraI untuk Transportasi Jalan.
Sisi suplai Indonesia memiliki potensi yang besar dan dari sisi pemanfaatan saat ini berada pada momentum yang sangat tepat sehingga dapat melengkapi rantai suplai industri nikel yang berbasis sumber daya alam. Total kebutuhan bijih nikel kadar rendah pada tahun 2021 akan mencapai 27 juta ton/tahun.
Sehingga kebijakan yang tertuang dalam Permen 25 yang sebelumnya mengizinkan bijih Nikel kadar rendah untuk diekspor perlu diatur kembali, dengan diterbitkannya Permen ESDM Nomor 11 Tahun 2019 bahwa ekspor nikel dengan kadar lebih kecil dari 1,7 persen Ni hanya sampai 31 Desember 2019, sehingga tata niaga penjualan bijih Nikel dapat memberikan manfaat yang lebih besar dan berkelanjutan bagi seluruh masyarakat Indonesia.
"Dalam mata rantai peningkatan nilai tambah nikel, yang belum ada di Indonesia adalah fasilitas pemurnian (smelter) untuk mendukung industri kendaraan listrik," ujar Kasubdit Pengawasan Usaha Eksplorasi Mineral Kementerian ESDM, Andri Budhiman Firmanto di Jakarta, Rabu.
Andri menjelaskan bahwa kalau teknologi hidrometalurgi HPAL (High Pressure Acid Leaching) itu berbeda dari pirometalurgi dalam proses pemurnian bijih nikel. Kalau pirometalirgi analogi sederhananya tanah dibakar sehingga menjadi logam karena tanahnya akan mengalami proses metalisasi dan menjadi logam.
Baca juga: Luhut: China-Korea ingin bangun pabrik karena larangan ekspor nikel
Sedangkan dengan menggunakan teknologi Hidrometalurgi HPAL (High Pressure Acid Leaching), bijih nikel kadar rendah dapat dimurnikan menjadi produk Mixed Hydroxide Precipitate, Nickel Sulfat dan Cobalt Sulfat sebagai bahan baku precursor.
Berdasarkan kajian Kemenko Bidang Kemaritiman, 40 persen dari total biaya manufaktur mobil listrik adalah dari baterai.Baterai kendaraan listrik menggunakan tipe baterei lithium ion dengan bahan baku katodanya adalah Nikel, Cobalt,Lithium, Mangan, dan Aluminium.
Menurut Andri, fasilitas dengan teknologi Hidrometalurgi HPAL Ini belum ada di Indonesia sehingga hal itulah yang menyebabkan Kementerian ESDM memberlakukan pelarangan ekspor nikel pada tahun 2020 dan momentumnya dinilai pas dengan kebijakan pemerintah untuk mempercepat pembangunan industri kendaraan listrik di dalam negeri.
Baca juga: BI Sulsel: 90 persen cadangan nikel dunia di Sulampua
Dalam paparannya, Kasubdit Pengawasan Usaha Eksplorasi Mineral tersebut menjelaskan bahwa terdapat enam rencana pembangunan fasilitas pemurnian bijih nikel kadar rendah dengan teknologi hidrometalurgi, antara lain dua proyek berlokasi di Sulawesi Tenggara, dua proyek di Sulawesi Tengah, dan masing-masing satu proyek di Maluku Utara serta Banten.
Indonesia merupakan salah satu negara yang mempunyai bahan baku terbaik di dunia untuk memproduksi baterai lithium ion, yaitu bijih nikel kadar rendah atau disebut limonite dengan kandungan nickel (0,8-1,5 persen) dan cobalt yang tinggi (0.07-0,2 persen).
Pemanfaatan nikel kadar rendah menjadi bahan baku baterai menjadi prioritas sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2019 tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis BateraI untuk Transportasi Jalan.
Sisi suplai Indonesia memiliki potensi yang besar dan dari sisi pemanfaatan saat ini berada pada momentum yang sangat tepat sehingga dapat melengkapi rantai suplai industri nikel yang berbasis sumber daya alam. Total kebutuhan bijih nikel kadar rendah pada tahun 2021 akan mencapai 27 juta ton/tahun.
Sehingga kebijakan yang tertuang dalam Permen 25 yang sebelumnya mengizinkan bijih Nikel kadar rendah untuk diekspor perlu diatur kembali, dengan diterbitkannya Permen ESDM Nomor 11 Tahun 2019 bahwa ekspor nikel dengan kadar lebih kecil dari 1,7 persen Ni hanya sampai 31 Desember 2019, sehingga tata niaga penjualan bijih Nikel dapat memberikan manfaat yang lebih besar dan berkelanjutan bagi seluruh masyarakat Indonesia.
Pewarta: Aji Cakti
Editor: Budi Suyanto
Copyright © ANTARA 2019
Tags: