"Saat ini enam dari tujuh zona musim di Sulut masih memasuki musim kemarau berdasarkan analisis hujan yang diperbarui tanggal 1 Oktober 2019," kata Kepala Seksi Obervasi dan Informasi Stasiun Klimatologi Minahasa Utara, Muhammad Candra Buana, S.ST di Manado, Rabu.
Ia menjelaskan ke-14 kecamatan yang masuk kategori awas (hari tanpa hujan atau HTH lebih dari 61 hari) kekeringan meteorologis yaitu Aertembaga, Lembeh Utara dan Matuari (Kota Bitung), Bolaang, Dumoga Timur, Dumoga Utara, dan Lolak (Kabupaten Bolaang Mongondow), serta Kotabunan (Kabupaten Bolaang Mongondow Timur).
Selanjutnya, Bunaken dan Mapanget (Kota Manado), Likupang Barat, Likupang Timur (Kabupaten Minahasa Utara), Ratahan (Kabupaten Minahasa Tenggara), dan Tagulandang (Kabupaten Kepulauan Sitaro).
Sedangkan untuk yang dikategorikan siaga waspada (hari tanpa hujan lebih dari 31 hari) kekeringan meteorologis mencakup 15 kecamatan di delapan kabupaten dan kota berbeda.
Wilayah-wilayah tersebut yaitu Maesa, Ranowulu (Kota Bitung), Dumoga Tengah (Kabupaten Bolaang Mongondow), Nuangan (Kabupaten Bolaang Mongondow Timur), Kawangkoan, Eris, Kombi dan Pineleng (Kabupaten Minahasa).
Selain itu, Airmadidi, Dimembe dan Likupang Barat (Kabupaten Minahasa Utara), Ratatotok dan Tombulu (Kabupaten Minahasa Tenggara), Siau Tengah (Kabupaten Kepulauan Sitaro) dan Lirung (Kabupaten Kepulauan Talaud).
"Diperlukan kewaspadaan terkait dengan ancaman bencana kekeringan ini," katanya.
BMKG peringatan dini gelombang tinggi
Dia menjelaskan, dari data HTH hingga 30 September 2019 menunjukkan beberapa wilayah di Sulut mengalami deret hari tanpa hujan berturut – turut lebih dari 31 hari.
Sementara, prakiraan peluang curah hujan menunjukkan bahwa beberapa daerah berpotensi mengalami curah hujan sangat rendah (kurang dari 20 milimeter per dasarian) dengan peluang lebih dari 70 persen, demikian Muhammad Candra Buana.
Baca juga: 16 kecamatan di Sulut siaga bencana kekeringan meteorologis
Baca juga: BMKG perkirakan puncak kemarau Sulut Agustus-September
Baca juga: Warga kepulauan sitaro alami krisis air bersih