Pengamat: Sriwijaya harus kembalikan kepercayaan masyarakat pascarujuk
1 Oktober 2019 20:17 WIB
Direktur Utama Citilink yang mewakili manajemen Garuda Group Juliandra (tengah) bersama Direktur Utama GMF Tazar Marta Kurniawan (kiri) dan Komisaris Sriwijaya Air Jefferson Jauwena (kanan) berfoto bersama usai memberikan keterangan pers terkait kembalinya Kerja Sama Manajemen (KSM) antara Garuda Indonesia dan Sriwijaya di Bandara Soekarno Hatta, Tangerang, Banten, Selasa (1/10/2019). ANTARA FOTO/Muhammad Iqbal/aww. (ANTARA FOTO/MUHAMMAD IQBAL)
Jakarta (ANTARA) - Pengamat Penerbangan Arista Indonesian Aviation Center (AIAC) Arista Atmadjati menilai Sriwijaya Air Group harus mengembalikan lagi kepercayaan masyarakat akan reputasi maskapainya pascarujuk dengan Garuda Indonesia Group.
“Kepercayaan masyarakat akan Sriwijaya menjadi tanda tanya, artinya perlu ‘recovery’ setelah rujuk ini,” kata Arista kepada Antara di Jakarta, Senin.
Pasalnya, sejumlah pesawat, bahkan setengahnya dinyatakan tidak laik terbang ketika putus kerja sama dengan Garuda Indonesia Group, dalam hal ini, PT GMF AeroAsia dalam menyediakan layanan perawatan pesawat.
Direktorat Kelaikudaraan dan Pengoperasian Pesawat Udara Kementerian Perhubungan merilis bahwa dari 30 pesawat yang diterbangkan rata-rata per harinya, 18 di antaranya dinyatakan tidak laik terbang (grounded).
Kurangnya suku cadang dan ketersediaan mekanik serta teknisi yang kurang, menyebabkan perawatan pesawat baik Sriwijaya Air maupun Nam Air terbengkalai. Ditambah Sriwijaya Air Group masih menunggak utang kepada GMF AeroAsia sebesar Rp800 miliar.
Baca juga: GMF lanjutkan kembali perawatan pesawat Sriwijaya Air Group
Baca juga: Kemenhub apresiasi bersatunya kembali Garuda dan Sriwijaya
“Belum lagi adanya pencopotan logo Garuda di badan pesawat Sriwijaya, itu juga membuat masyarakat khawatir. Tidak bisa dipungkiri, dengan adanya logo Garuda masyarakat jadi tenang bahwa standar keselamatannya setara dengan Garuda,” katanya.
Terkait adanya kisruh di dewan direksi dan pemegang saham, Arista menyarankan untuk mengikuti terlebih dahulu kebijakan Garuda sampai kondisi keuangan Sriwijaya Air Group kembali hijau atau membukukan keuntungan (profit).
“Sriwijaya harus terima, istilahnya ini ‘kan kondisinya sedang sakit, jadi mau disembuhkan dulu ya harus nurut. Kalau memang utang-utangnya sudah tebayarkan itu ‘kan sampai hampir Rp2 triliun, baru sedikit demi sedikit bisa diputuskan kerja samanya mau lanjut atau enggak,” ujarnya.
Garuda Indonesia Group dan Sriwijaya Air Group memutuskan untuk rujuk setelah sempat putus kerja sama manajemen akibat kisruh yang berkepanjangan.
Polemik di tubuh entitas itu bermula dari adanya Dewan Komisaris Garuda yang merangkap menjadi Dewan Komisaris Sriwijaya Air Group, kemudian pemecatan tiga direksi termasuk direktur utama, pencopotan logo Garuda di badan pesawat Sriwijaya hingga beredarnya surat permohonon untuk penghentian sementara operasional dari Direktur Direktur Quality, Safety, dan Security Sriwijaya Air Toto Subandoro kepada Plt Direktur Utama Sriwijaya Air Jefferson I. Jauwena.
Polemik itu berujung pada pengunduran diri dua direksi Sriwijaya Air, yakni Direktur Operasi Fadjar Semiarto dan Direktur Teknik Romdani Ardali Adang.
Baca juga: Garuda dan Sriwijaya akhirnya rujuk
Baca juga: Sriwijaya Air nunggak perawatan pesawat Rp800 miliar ke Garuda
“Kepercayaan masyarakat akan Sriwijaya menjadi tanda tanya, artinya perlu ‘recovery’ setelah rujuk ini,” kata Arista kepada Antara di Jakarta, Senin.
Pasalnya, sejumlah pesawat, bahkan setengahnya dinyatakan tidak laik terbang ketika putus kerja sama dengan Garuda Indonesia Group, dalam hal ini, PT GMF AeroAsia dalam menyediakan layanan perawatan pesawat.
Direktorat Kelaikudaraan dan Pengoperasian Pesawat Udara Kementerian Perhubungan merilis bahwa dari 30 pesawat yang diterbangkan rata-rata per harinya, 18 di antaranya dinyatakan tidak laik terbang (grounded).
Kurangnya suku cadang dan ketersediaan mekanik serta teknisi yang kurang, menyebabkan perawatan pesawat baik Sriwijaya Air maupun Nam Air terbengkalai. Ditambah Sriwijaya Air Group masih menunggak utang kepada GMF AeroAsia sebesar Rp800 miliar.
Baca juga: GMF lanjutkan kembali perawatan pesawat Sriwijaya Air Group
Baca juga: Kemenhub apresiasi bersatunya kembali Garuda dan Sriwijaya
“Belum lagi adanya pencopotan logo Garuda di badan pesawat Sriwijaya, itu juga membuat masyarakat khawatir. Tidak bisa dipungkiri, dengan adanya logo Garuda masyarakat jadi tenang bahwa standar keselamatannya setara dengan Garuda,” katanya.
Terkait adanya kisruh di dewan direksi dan pemegang saham, Arista menyarankan untuk mengikuti terlebih dahulu kebijakan Garuda sampai kondisi keuangan Sriwijaya Air Group kembali hijau atau membukukan keuntungan (profit).
“Sriwijaya harus terima, istilahnya ini ‘kan kondisinya sedang sakit, jadi mau disembuhkan dulu ya harus nurut. Kalau memang utang-utangnya sudah tebayarkan itu ‘kan sampai hampir Rp2 triliun, baru sedikit demi sedikit bisa diputuskan kerja samanya mau lanjut atau enggak,” ujarnya.
Garuda Indonesia Group dan Sriwijaya Air Group memutuskan untuk rujuk setelah sempat putus kerja sama manajemen akibat kisruh yang berkepanjangan.
Polemik di tubuh entitas itu bermula dari adanya Dewan Komisaris Garuda yang merangkap menjadi Dewan Komisaris Sriwijaya Air Group, kemudian pemecatan tiga direksi termasuk direktur utama, pencopotan logo Garuda di badan pesawat Sriwijaya hingga beredarnya surat permohonon untuk penghentian sementara operasional dari Direktur Direktur Quality, Safety, dan Security Sriwijaya Air Toto Subandoro kepada Plt Direktur Utama Sriwijaya Air Jefferson I. Jauwena.
Polemik itu berujung pada pengunduran diri dua direksi Sriwijaya Air, yakni Direktur Operasi Fadjar Semiarto dan Direktur Teknik Romdani Ardali Adang.
Baca juga: Garuda dan Sriwijaya akhirnya rujuk
Baca juga: Sriwijaya Air nunggak perawatan pesawat Rp800 miliar ke Garuda
Pewarta: Juwita Trisna Rahayu
Editor: Subagyo
Copyright © ANTARA 2019
Tags: