Revisi UU Perkawinan tekan kekerasan perempuan dan anak
30 September 2019 20:26 WIB
Sekretaris Kementerian PPPA Pribudiarta Nur Sitepu menjawab pertanyaan awak media, di sela Rapat Koordinasi Pelaksanaan Fungsi UPTD PPA dengan tema "Penguatan Kelembagaan UPTD PPA menuju Pelayanan Prima". di Yogyakarta, Senin 930/9/2019). (ANTARA/Luqman Hakim)
Yogyakarta (ANTARA) - Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) meyakini revisi terbatas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang belum lama ini telah disahkan DPR RI mampu menekan angka kekerasan pada perempuan dan anak dalam keluarga.
"Kekerasan itu bisa terjadi karena kesiapan yang kurang dalam membentuk keluarga," kata Sekretaris Kementerian PPPA Pribudiarta Nur Sitepu, di sela Rapat Koordinasi Pelaksanaan Fungsi UPTD PPA dengan tema "Penguatan Kelembagaan UPTD PPA menuju Pelayanan Prima", di Yogyakarta, Senin.
Baca juga: KPPPA optimistis RUU Penghapusan Kekerasan Seksual segera disahkan
Menurut dia, sebagian besar kasus kekerasan dalam rumah tangga dipicu ketidaksiapan pasangan menjalin pernikahan. Sebelum menikah baik pihak perempuan maupun laki-laki harus dipastikan memiliki ketahanan fisik, sosial budaya, psikologis, dan ketahanan ekonomi.
Pribudiarta mengakui hingga saat ini angka kekerasan perempuan dan anak dalam rumah tangga masih tinggi. Survei terakhir Kemen PPPA menyebutkan 1 dari 3 perempuan usia 15-64 tahun di Indonesia mengalami kekerasan oleh pasangan dan selain pasangan selama hidup mereka.
Infografis:
Selanjutnya, 1 dari 5 anak perempuan mengalami kekerasan fisik dan 1 dari 3 anak laki-laki mengalami kekerasan fisik, 1 dari 11 anak perempuan mengalami kekerasan seksual dan 1 dari 17 anak laki-laki mengalami kekerasan seksual.
Baca juga: Menteri PPPA minta Aceh perhatikan kepentingan terbaik perempuan-anak
Ia meyakini UU Perkawinan baru hasil revisi yang menetapkan usia minimum nikah bagi laki-laki dan perempuan menjadi 19 tahun akan mampu memenuhi syarat kesiapan pernikahan itu.
"Kesiapan dari sisi biologisnya bagi pihak perempuan dan bagi laki-laki memiliki kesiapan sosial-psikologis dan sosial-budaya," kata dia.
Untuk mencegah terjadi kasus kekerasan pada perempuan dan anak, menurut dia, Kemen PPPA juga telah menginisiasi pembentukan Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA). Hingga September 2019 UPTD PPA telah terbentuk di 20 provinsi.
Melalui unit tersebut perempuan dan anak yang mengalami masalah kekerasan, diskriminasi, perlindungan khusus, dan masalah lainnya dapat dilayani dan ditangani secara optimal.
"Keberhasilan pembangunan tentu indikatornya adalah kebahagiaan, padahal orang tidak akan bahagia kalau ada kekerasan. UPTD ini merupakan bentuk respons dan tanggung jawan pemerintah dalam mengintervensi isu kekerasan itu," kata dia.
Sebelumnya, Rapat Paripurna DPR RI pada 16 September mengesahkan revisi terbatas UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menjadi UU. Salah satu pasal yang direvisi adalah batasan minimal usia menikah bagi laki-laki dan perempuan yaitu 19 tahun.
"Kekerasan itu bisa terjadi karena kesiapan yang kurang dalam membentuk keluarga," kata Sekretaris Kementerian PPPA Pribudiarta Nur Sitepu, di sela Rapat Koordinasi Pelaksanaan Fungsi UPTD PPA dengan tema "Penguatan Kelembagaan UPTD PPA menuju Pelayanan Prima", di Yogyakarta, Senin.
Baca juga: KPPPA optimistis RUU Penghapusan Kekerasan Seksual segera disahkan
Menurut dia, sebagian besar kasus kekerasan dalam rumah tangga dipicu ketidaksiapan pasangan menjalin pernikahan. Sebelum menikah baik pihak perempuan maupun laki-laki harus dipastikan memiliki ketahanan fisik, sosial budaya, psikologis, dan ketahanan ekonomi.
Pribudiarta mengakui hingga saat ini angka kekerasan perempuan dan anak dalam rumah tangga masih tinggi. Survei terakhir Kemen PPPA menyebutkan 1 dari 3 perempuan usia 15-64 tahun di Indonesia mengalami kekerasan oleh pasangan dan selain pasangan selama hidup mereka.
Infografis:
Selanjutnya, 1 dari 5 anak perempuan mengalami kekerasan fisik dan 1 dari 3 anak laki-laki mengalami kekerasan fisik, 1 dari 11 anak perempuan mengalami kekerasan seksual dan 1 dari 17 anak laki-laki mengalami kekerasan seksual.
Baca juga: Menteri PPPA minta Aceh perhatikan kepentingan terbaik perempuan-anak
Ia meyakini UU Perkawinan baru hasil revisi yang menetapkan usia minimum nikah bagi laki-laki dan perempuan menjadi 19 tahun akan mampu memenuhi syarat kesiapan pernikahan itu.
"Kesiapan dari sisi biologisnya bagi pihak perempuan dan bagi laki-laki memiliki kesiapan sosial-psikologis dan sosial-budaya," kata dia.
Untuk mencegah terjadi kasus kekerasan pada perempuan dan anak, menurut dia, Kemen PPPA juga telah menginisiasi pembentukan Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA). Hingga September 2019 UPTD PPA telah terbentuk di 20 provinsi.
Melalui unit tersebut perempuan dan anak yang mengalami masalah kekerasan, diskriminasi, perlindungan khusus, dan masalah lainnya dapat dilayani dan ditangani secara optimal.
"Keberhasilan pembangunan tentu indikatornya adalah kebahagiaan, padahal orang tidak akan bahagia kalau ada kekerasan. UPTD ini merupakan bentuk respons dan tanggung jawan pemerintah dalam mengintervensi isu kekerasan itu," kata dia.
Sebelumnya, Rapat Paripurna DPR RI pada 16 September mengesahkan revisi terbatas UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menjadi UU. Salah satu pasal yang direvisi adalah batasan minimal usia menikah bagi laki-laki dan perempuan yaitu 19 tahun.
Pewarta: Luqman Hakim
Editor: Budisantoso Budiman
Copyright © ANTARA 2019
Tags: