Jakarta (ANTARA News) - Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta (Kejati DKI) mensinyalir adanya keterlibatan oknum-oknum Depnakertrans dalam dugaan pemalsuan dokumen jumlah penerima dana pensiun mantan karyawan PT. Hotel Indonesia Natour (HIN), salah satu BUMN. Kepada pers di Jakarta, Jumat, Aspidum Kejati DKI Agus Rismanto mengatakan, pihaknya mensinyalir pemalsuan blanko dokumen yang berisi daftar nama-nama penerima dana pensiun PT HIN tidak hanya dilakukan oleh satu orang saja, sebagaimana disebutkan dalam berkas penyidikan kepolisian. "Kita melihat ada indikasi kuat keterlibatan oknum-oknum Depnakertrans. Karena alasan itulah berkasnya kita kembalikan," katanya. Dikatakannya pula bahwa keterlibatan oknum-oknum dari Depnakertrans tersebut terindikasi dilakukan secara terencana. Lebih lanjut Agus mengatakan, Kejati DKI telah mengembalikan berkas kasus tersebut ke penyidik Polri agar kembali mengusut pihak-pihak lain yang diduga terlibat dalam pemalsuan blanko dokumen itu. "Kemarin berkasnya kita kembalikan ke Kepolisian untuk dilengkapi lebih lanjut," kata Agus. Selain itu, Kejaksaan juga belum bisa menetapkan status P21 terhadap berkas penyidikan Polisi atas tersangka Joko Sujono yang merupakan ketua Himpunan Mantan Karyawan HI (Himkhi) terkait dugaan pemalsuan data 382 karyawan, yang sesuai dengan aturan perusahaan tidak berhak menerima kompensasi bernama modal pensiun. Terkait data palsu itu, Kejaksaan Agung sebagai jaksa pengacara negara (JPN) yang mewakili BUMN tersebut telah meminta pula PN Jakpus agar tidak mengeksekusi penetapan Ketua Pengadilan Hubungan Industrial pada pengadilan yang sama terkait perselisihan perburuhan dengan sejumlah eks pekerjanya. JPN itu melakukan "verzett" (perlawanan) sekaligus mempertanyakan dasar putusan PN Jakpus tertanggal 9 Juni 2008 lalu yang memerintahkan pengeksekusian uang negara sekitar Rp4,8 miliar sebagai realisasi pemutusan hubungan perburuhan itu. Kejaksaan Agung menilai, amar putusan Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat (P4P) yang mengizinkan PT HIN melakukan PHK sesuai dengan UU No.22 Tahun 1957 tidak menyebutkan adanya eksekusi uang negara sejumlah itu. Kejaksaan menilai putusan tersebut jelas bertentangan dengan Peraturan Mahkamah Agung No.11 Tahun 1999. (*)