Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM) MUI Riau selama periode Januari-Agustus 2019 menerbitkan 185 sertifikat halal untuk usaha mikro jecil menengah (UMKM) daerah itu.
"Produk yang telah mengantongi sertifikasi halal akan makin diminati konsumen sebab mereka mendapatkan jaminan produk yang aman dan halal," kata Ketua LPPOM MUI Riau, Sofia Anita di Pekanbaru, Sabtu.
Menurut Sofia, sejumlah usaha lainnya yang mengurus sertifikasi halal adalah bergerak di bidang makanan dan minuman, pengolahan sumber daya alam, pengolahan makanan dan minuman, restoran, jasa boga, air minum dalam kemasan (AMDK), olahan sawit, kilang sagu, gas alam, hingga bahan kimia.
Baca juga: Aetra peroleh sertifikat halal demi beri jaminan pada pelanggan
Ia mengatakan pengelola usaha industri makanan di Riau harus memiliki sertifikat halal untuk memberikan keamanan bagi konsumen apalagi pemerintah akan memberlakukan UU Nomor 33 tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal pada tahun 2019 ini dan sertifikat halal nanti akan menjadi mandatori.
Menjadi mandatori, ia menjelaskan, artinya sebagai sebuah perintah atau kewajiban yang harus dipenuhi pemilik usaha makanan dan minuman, jasa boga, kemasan kue dan obat-obatan, minuman dan lainnya, jika dilanggar akan dikenakan sanksi hukum.
"Sertifikat halal yang di terbitkan LPPOM MUI dengan 14 angka itu merupakan sertifikat yang telah diakui Majelis Ulama Indonesia (MUI)," katanya.
Penerbitan sertifikat tersebut melalui proses yang cukup panjang dengan melihat secara langsung pengolahan serta asal-usul bahan baku produksi dari sebuah produk yang ingin menerbitkan sertifikat halalnya.
Sofia mengimbau masyarakat untuk tidak menerima auditor tanpa surat tugas, karena itu calo dan mereka akan meminta biaya yang besar, bisa lima hingga sepuluh juta rupiah.
Baca juga: UKM dan sertifikasi halal
"Untuk mendapatkan sertifikat halal, pengusaha harus terlebih dahulu mengisi formulir dan membayar uang pendaftaran sebesar seratus ribu rupiah. Setelah mendaftarkan produk, pengusaha diminta kesediaan untuk melakukan audit. Proses audit dilakukan oleh dua orang auditor dengan surat tugas. Auditor tanpa surat tugas patut diwaspadai oleh pengusaha," katanya.
Auditor akan memeriksa secara saksama dan menyeluruh terhadap produk, mulai dari bahan baku, proses pembuatan, penyimpanan, hingga pembungkusan. Setelah diperiksa akan dilakukan analisis hingga dirapatkan di komisi fatwa MUI dan disertifikasi. Sertifikat ini berlaku selama dua tahun.
Biaya yang dikeluarkan untuk mengurus sertifikat halal beragam, mulai dari Rp800 ribu hingga Rp4,5 juta rupiah. Besaran biaya menyesuaikan dengan produk dan kerumitan pemeriksaannya. Biaya tersebut digunakan untuk honor auditor, biaya rapat 2 kali, biaya analisis, biaya cetak sertifikat dan biaya penandatanganan sertifikat.
"Terkait anggaran tersebut, masyarakat kerap menganggap biaya yang dikeluarkan mahal, padahal itu tidak besar. Biaya yang dikeluarkan adalah untuk operasional, karena ketiadaan dana oleh LPPOM MUI. Jika dihitung per harinya, penjual hanya harus menyisihkan sedikit saja setiap harinya, apalagi mereka berjualan setiap hari," jelas Sofia.
Baca juga: MUI Babel terbitkan 106 sertifikat halal gratis
Menurut Sofia, sejumlah usaha lainnya yang mengurus sertifikasi halal adalah bergerak di bidang makanan dan minuman, pengolahan sumber daya alam, pengolahan makanan dan minuman, restoran, jasa boga, air minum dalam kemasan (AMDK), olahan sawit, kilang sagu, gas alam, hingga bahan kimia.
Baca juga: Aetra peroleh sertifikat halal demi beri jaminan pada pelanggan
Ia mengatakan pengelola usaha industri makanan di Riau harus memiliki sertifikat halal untuk memberikan keamanan bagi konsumen apalagi pemerintah akan memberlakukan UU Nomor 33 tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal pada tahun 2019 ini dan sertifikat halal nanti akan menjadi mandatori.
Menjadi mandatori, ia menjelaskan, artinya sebagai sebuah perintah atau kewajiban yang harus dipenuhi pemilik usaha makanan dan minuman, jasa boga, kemasan kue dan obat-obatan, minuman dan lainnya, jika dilanggar akan dikenakan sanksi hukum.
"Sertifikat halal yang di terbitkan LPPOM MUI dengan 14 angka itu merupakan sertifikat yang telah diakui Majelis Ulama Indonesia (MUI)," katanya.
Penerbitan sertifikat tersebut melalui proses yang cukup panjang dengan melihat secara langsung pengolahan serta asal-usul bahan baku produksi dari sebuah produk yang ingin menerbitkan sertifikat halalnya.
Sofia mengimbau masyarakat untuk tidak menerima auditor tanpa surat tugas, karena itu calo dan mereka akan meminta biaya yang besar, bisa lima hingga sepuluh juta rupiah.
Baca juga: UKM dan sertifikasi halal
"Untuk mendapatkan sertifikat halal, pengusaha harus terlebih dahulu mengisi formulir dan membayar uang pendaftaran sebesar seratus ribu rupiah. Setelah mendaftarkan produk, pengusaha diminta kesediaan untuk melakukan audit. Proses audit dilakukan oleh dua orang auditor dengan surat tugas. Auditor tanpa surat tugas patut diwaspadai oleh pengusaha," katanya.
Auditor akan memeriksa secara saksama dan menyeluruh terhadap produk, mulai dari bahan baku, proses pembuatan, penyimpanan, hingga pembungkusan. Setelah diperiksa akan dilakukan analisis hingga dirapatkan di komisi fatwa MUI dan disertifikasi. Sertifikat ini berlaku selama dua tahun.
Biaya yang dikeluarkan untuk mengurus sertifikat halal beragam, mulai dari Rp800 ribu hingga Rp4,5 juta rupiah. Besaran biaya menyesuaikan dengan produk dan kerumitan pemeriksaannya. Biaya tersebut digunakan untuk honor auditor, biaya rapat 2 kali, biaya analisis, biaya cetak sertifikat dan biaya penandatanganan sertifikat.
"Terkait anggaran tersebut, masyarakat kerap menganggap biaya yang dikeluarkan mahal, padahal itu tidak besar. Biaya yang dikeluarkan adalah untuk operasional, karena ketiadaan dana oleh LPPOM MUI. Jika dihitung per harinya, penjual hanya harus menyisihkan sedikit saja setiap harinya, apalagi mereka berjualan setiap hari," jelas Sofia.
Baca juga: MUI Babel terbitkan 106 sertifikat halal gratis