Maluku (ANTARA News) - DPR RI mengecam penggunaan pasal yang dianggap banci pada Undang-undang Perikanan Nomor 31 untuk menghadapi "illegal fishing" (pencurian ikan ilegal) yang merugikan negara hingga Rp30 triliun setiap tahunnya. "Antisipasi `illegal fishing` harus ada, itu harus dari instansi terkait, termasuk kehakiman karena ini terkait dengan hati nurani. Ini mendesak," kata anggota Komisi IV DPR RI dari Fraksi PAN, Darmayanto, pada kunjungan kerja ke Maluku, Sabtu. Menurut dia, pasal-pasal yang berada di area abu-abu yang memberikan celah kepada pelaku "illegal fishing" merugikan negara triliunan rupiah seharusnya tidak boleh digunakan oleh penuntut umum, karena jelas pencurian ikan oleh asing merugikan negara triliunan rupiah. Dia menegaskan suksesnya pemberantasan "illegal fishing" bukan semata-mata karena faktor fasilitas, tetapi perlu juga ada hati nurani hakim untuk melihat kasus pencurian ikan sebagai hal yang spesial dan perlu diperangi seperti halnya "illegal logging". "Di Tual saya melihat koordinasi aparat sangat baik untuk memerangi `illegal fishing`. Saya minta Menteri agar titik-titik rawan seperti di sini tidak boleh ada kompromi, harus berani mensortir orang-orang yang tepat dalam pemberantasan `illegal fishing` ini," ujar dia. Lebih lanjut, dia mengatakan, sesuai fungsinya DPR akan melakukan revisi Undang-undang Perikanan atau melengkapi payung hukum yang telah ada tersebut agar penanggulangan "illegal fishing" ini lebih spesifik. Secara taktis Komisi IV meminta agar semua aparat baik Pegawai Penyidik Negeri Sipil (PPNS) Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP), Polri, dan TNI, berkoordinasi untuk memaksimalkan fasilitas yang ada ditengah keterbatasan anggaran, katanya. Sementara itu, Dirjen Pengawasan dan Perlindungan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (P2SDKP), Aji Sularso mengatakan, koordinasi penanggulangan "illegal fishing" saat ini sudah cukup baik di tingkat penyidik. Namun seringkali kasus "illegal fishing" terhambat pada tahap penuntutan dengan berbagai alasan. "Kapal-kapal yang di Ad Hoc dengan biaya mahal terlalu lama bersandar di pelabuhan. Ada yang sampai lima tahun kasusnya tidak selesai karena sampai tingkat banding, seperti di Tual sampai tenggelam kapalnya tidak selesai juga kasusnya," katanya. Dia mengatakan hakim sangat "independen" dalam memutuskan suatu kasus, jadi sangat tergantung dengan hati nuraninya meskipun Undang-undang sudah mengatur sanksi denda, tapi terkadang ada satu kasus yang pasalnya dapat dikenakan sanksi ringan sekaligus berat. Ada kasus yang seharusnya dikenakan pidana dengan denda Rp200 juta tapi karena jaksanya memakai pasal "banci" jadi hanya terkena sanksi administratif saja Rp500.000, ujar dia. Hal-hal ini yang harus diperbaiki, karena itu Revisi UU Perikanan sangat penting dilakukan. Beberapa pasal yang dianggap "abu-abu" menyangkut pidana dan pelanggran pada penggunaan alat tangkap dari UU Perikanan seperti pasal 85 dan 100.(*)