DPR tunda empat RUU yang diminta Presiden
24 September 2019 15:14 WIB
Ketua DPR Bambang Soesatyo (kelima kiri) bersama pimpinan DPR dan fraksi beraudiensi dengan Presiden Joko Widodo di Istana Merdeka, Jakarta, Senin (23/9/2019). Pertemuan tersebut membahas sejumlah isu, salah satunya Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari/ama.
Jakarta (ANTARA) - Ketua DPR RI Bambang Soesatyo mengatakan lembaganya menunda pengesahan empat rancangan undang-undang (RUU) menjadi undang-undang seperti yang diminta Presiden RI Joko Widodo beberapa waktu lalu.
Keempat RUU tersebut adalah RUU KUHP dan RUU Lembaga Permasyarakatan, RUU Pertanahan, dan RUU Minerba.
"Saya memahami keinginan Presiden Joko Widodo yang meminta empat RUU untuk ditunda pengesahannya," kata Bamsoet dalam keterangannya di Jakarta, Selasa.
Untuk itu, DPR melalui Badan Musyawarah (Bamus), Senin (23/9), dan forum lobi pada hari Selasa sepakat untuk menunda RUU KUHP dan RUU Lembaga Permasyarakatan untuk memberikan waktu kepada DPR maupun pemerintah untuk mengkaji dan menyosialisasikan kembali secara masif isi dari kedua RUU tersebut agar masyarakat lebih bisa memahaminya.
Baca juga: Pakar hukum pidana: RKUHP boleh ditunda, tapi harus disahkan
Dua RUU lainnya, menurut dia, yaitu RUU Pertanahan dan RUU Minerba masih dalam pembahasan di tingkat pertama dan belum masuk dalam tahap pengambilan keputusan.
"Terkait dengan pengesahan RUU KUHP yang ditunda, sebagaimana disampaikan dalam rapat konsultasi antara Presiden dan pimpinan DPR RI didampingi pimpinan fraksi dan pimpinan Komisi III DPRI di Istana Negara, Senin (23/9), telah disepakati untuk ditunda sesuai dengan mekanisme, prosedur, dan tata cara yang ada di DPR," ujarnya.
Bamsoet menyebutkan Pasal 20 Ayat (2) UUD NRI Tahun1945 mengamanatkan bahwa setiap RUU dibahas DPR dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama. Tanpa persetujuan kedua belah pihak, maka setiap RUU tidak bisa disahkan menjadi UU.
Menurut dia, karena ditunda, DPR RI bersama pemerintah akan mengkaji kembali pasal per pasal yang terdapat dalam RUU KUHP, khususnya yang menjadi sorotan publik dan DPR juga akan gencarkan kembali sosialisasi tentang RUU KUHP.
"Dengan demikian, masyarakat bisa mendapatkan penjelasan yang utuh, tidak salah tafsir, apalagi salah paham menuduh DPR RI dan pemerintah ingin mengebiri hak-hak rakyat," katanya.
Baca juga: Polisi kerahkan 252 personel amankan aksi tolak RKUHP
Pada dasarnya, kata Bamsoet, penyusunan RUU KUHP sudah melibatkan berbagai profesor hukum dari berbagai universitas, praktisi hukum, maupun lembaga swadaya dan organisasi kemasyarakatan sehingga keberadaan pasal per pasalnya yang dirumuskan bisa menjawab berbagai permasalahan yang ada dalam masyarakat Indonesia.
Bamsoet menilai pembahasan RUU KUHP sejak 1963 sudah melewati masa tujuh kepemimpinan presiden dengan 19 menteri hukum dan HAM, sebenarnya sudah berada di ujung. Dengan demikian, jika saat ini terjadi berbagai dinamika di tengah masyarakat, itu ini lebih karena sosialisasi yang belum masif walaupun selama ini DPR RI melalui Komisi III telah membuka pintu selebarnya dalam menampung aspirasi.
"Para anggota DPR RI juga membawa aspirasi dari konstituennya, tidak semua aspirasi bisa diterima. Oleh karena itu, kami libatkan berbagai profesor hukum dengan berbagai kepakaran untuk meramu formulasi terbaik," ujarnya.
Meskipun RUU KUHP ditunda oleh DPR dan Pemerintah, Bamsoet berharap RUU KUHP ini tetap menjadi catatan sejarah dalam perjalanan bangsa ini.
Hal itu karena seluruh sumber daya dan pemikiran telah tercurah dari para profesor, ahli, dan praktisi hukum, seperti Prof. Muladi (mantan Rektor Undip Semarang) maupun yang sudah wafat (Prof. Soedarto, Prof. Roeslan Saleh, dan Prof Satochid Kartanegara), untuk menuntaskan RUU KUHP.
Baca juga: Rektor: Demo mahasiswa Undip bukan representasi kampus
"RUU KUHP sebenarnya akan menjadi momentum terlepasnya Indonesia dan penjajahan hukum peninggalan kolonial selama kurang lebih 101 tahun. Bukan hanya berdikari, melainkan sebagai sebuah bangsa kita punya martabat karena bisa melahirkan RUU KUHP yang terdiri ats 626 pasal yang merupakan hasil karya anak bangsa," katanya.
Keempat RUU tersebut adalah RUU KUHP dan RUU Lembaga Permasyarakatan, RUU Pertanahan, dan RUU Minerba.
"Saya memahami keinginan Presiden Joko Widodo yang meminta empat RUU untuk ditunda pengesahannya," kata Bamsoet dalam keterangannya di Jakarta, Selasa.
Untuk itu, DPR melalui Badan Musyawarah (Bamus), Senin (23/9), dan forum lobi pada hari Selasa sepakat untuk menunda RUU KUHP dan RUU Lembaga Permasyarakatan untuk memberikan waktu kepada DPR maupun pemerintah untuk mengkaji dan menyosialisasikan kembali secara masif isi dari kedua RUU tersebut agar masyarakat lebih bisa memahaminya.
Baca juga: Pakar hukum pidana: RKUHP boleh ditunda, tapi harus disahkan
Dua RUU lainnya, menurut dia, yaitu RUU Pertanahan dan RUU Minerba masih dalam pembahasan di tingkat pertama dan belum masuk dalam tahap pengambilan keputusan.
"Terkait dengan pengesahan RUU KUHP yang ditunda, sebagaimana disampaikan dalam rapat konsultasi antara Presiden dan pimpinan DPR RI didampingi pimpinan fraksi dan pimpinan Komisi III DPRI di Istana Negara, Senin (23/9), telah disepakati untuk ditunda sesuai dengan mekanisme, prosedur, dan tata cara yang ada di DPR," ujarnya.
Bamsoet menyebutkan Pasal 20 Ayat (2) UUD NRI Tahun1945 mengamanatkan bahwa setiap RUU dibahas DPR dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama. Tanpa persetujuan kedua belah pihak, maka setiap RUU tidak bisa disahkan menjadi UU.
Menurut dia, karena ditunda, DPR RI bersama pemerintah akan mengkaji kembali pasal per pasal yang terdapat dalam RUU KUHP, khususnya yang menjadi sorotan publik dan DPR juga akan gencarkan kembali sosialisasi tentang RUU KUHP.
"Dengan demikian, masyarakat bisa mendapatkan penjelasan yang utuh, tidak salah tafsir, apalagi salah paham menuduh DPR RI dan pemerintah ingin mengebiri hak-hak rakyat," katanya.
Baca juga: Polisi kerahkan 252 personel amankan aksi tolak RKUHP
Pada dasarnya, kata Bamsoet, penyusunan RUU KUHP sudah melibatkan berbagai profesor hukum dari berbagai universitas, praktisi hukum, maupun lembaga swadaya dan organisasi kemasyarakatan sehingga keberadaan pasal per pasalnya yang dirumuskan bisa menjawab berbagai permasalahan yang ada dalam masyarakat Indonesia.
Bamsoet menilai pembahasan RUU KUHP sejak 1963 sudah melewati masa tujuh kepemimpinan presiden dengan 19 menteri hukum dan HAM, sebenarnya sudah berada di ujung. Dengan demikian, jika saat ini terjadi berbagai dinamika di tengah masyarakat, itu ini lebih karena sosialisasi yang belum masif walaupun selama ini DPR RI melalui Komisi III telah membuka pintu selebarnya dalam menampung aspirasi.
"Para anggota DPR RI juga membawa aspirasi dari konstituennya, tidak semua aspirasi bisa diterima. Oleh karena itu, kami libatkan berbagai profesor hukum dengan berbagai kepakaran untuk meramu formulasi terbaik," ujarnya.
Meskipun RUU KUHP ditunda oleh DPR dan Pemerintah, Bamsoet berharap RUU KUHP ini tetap menjadi catatan sejarah dalam perjalanan bangsa ini.
Hal itu karena seluruh sumber daya dan pemikiran telah tercurah dari para profesor, ahli, dan praktisi hukum, seperti Prof. Muladi (mantan Rektor Undip Semarang) maupun yang sudah wafat (Prof. Soedarto, Prof. Roeslan Saleh, dan Prof Satochid Kartanegara), untuk menuntaskan RUU KUHP.
Baca juga: Rektor: Demo mahasiswa Undip bukan representasi kampus
"RUU KUHP sebenarnya akan menjadi momentum terlepasnya Indonesia dan penjajahan hukum peninggalan kolonial selama kurang lebih 101 tahun. Bukan hanya berdikari, melainkan sebagai sebuah bangsa kita punya martabat karena bisa melahirkan RUU KUHP yang terdiri ats 626 pasal yang merupakan hasil karya anak bangsa," katanya.
Pewarta: Imam Budilaksono
Editor: D.Dj. Kliwantoro
Copyright © ANTARA 2019
Tags: