Artikel
Nasib anak-anak korban jerubu karhutla, ketika udara sudah berbahaya
Oleh FB Anggoro
23 September 2019 19:51 WIB
Seorang anak yang menderita sesak nafas akibat asap karhutla tertidur di pelukan ayahnya saat menjalani pengobatan di Rumah Sakit Ibu dan Anak Eria Bunda, Kota Pekanbaru, Riau, Senin (23/9/2019). ANTARA FOTO/FB Anggoro/ama.
Pekanbaru (ANTARA) - Selang bening mengalirkan oksigen dari tabung ke hidung Darisa Tibyan, bayi berusia delapan bulan yang mendapat perawatan intensif di Rumah Sakit Petala Bumi Kota Pekanbaru, pertengahan September 2019, akibat kabut asap karhutla.
Tanpa alat itu, Darisa tidak mampu bertahan hidup karena didiagnosa dokter mengalami infeksi di organ pernafasannya.
"Saya nanya ke dokter, katanya ada infeksi di paru-paru," kata Deni Martadinata, ayah sang bayi kepada ANTARA.
Deni dan Kinah Susilawati, isterinya, tidak menyangka kalau putri ketiganya bisa sakit separah itu. Padahal, sejak jerubu semakin pekat, ia sudah menutup semua pintu dan jendela rumah.
Tempat tinggal keluarga tersebut di daerah Limbungan, Kecamatan Rumbai, selalu diselimuti asap pekat sisa kebakaran hutan dan lahan, terutama pada pagi dan malam hari.
Deni yang bekerja sebagai tukang pijat refleksi tidak ada pilihan selain mengurung anaknya di dalam kamar, dan dibantu dengan kipas angin untuk mengurangi bau asap karhutla yang terasa sampai dalam griyanya.
"Di dalam asap terasa sekali, tenggorokan terasa perih," kata Deni yang kini juga terserang Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) itu.
Keluarga Deni adalah bagian dari ratusan ribu warga yang sakit akibat kebakaran hutan dan lahan (karhutla) yang terjadi pada 2019.
Baca juga: 11.268 orang terkena ISPA di Pekanbaru akibat asap karhutla
Data Badan Nasional Penanggulangan Bencana Daerah (BNPB) menyebutkan nyaris satu juta korban, tepatnya 919.516 orang, menderita ISPA akibat terpapar asap karhutla. Secara rinci, 275.793 penderita ISPA di Provinsi Riau, 291.807 di Sumatera Selatan, 180.695 di Kalimantan Barat, 67.293 di Kalimantan Tengah, dan 63.445 di Jambi.
Deni hanya bisa pasrah dan berdoa agar asap segera hilang dan orang-orang yang sengaja membakar lahan bisa sadar akan perbuatan jahat mereka.
"Harapan saya semoga asap ini cepat berlalu, berdoa semoga cepat turun hujan. Pemerintah sudah upayakan pemadaman, saya pesan kepada orang-orang yang punya lahan jangan korbankan orang banyak untuk kepentingan pribadi atau korporasi. Anak-anak yang terdampak banyak sekali," ujarnya.
Sebagian masyarakat di daerah yang terpapar asap karhutla hanya bisa bertahan karena tidak ada dana untuk bisa mengungsi ke luar daerah.
Namun, ketika jerubu tidak hanya merenggut langit biru melainkan juga mengubah udara bagaikan racun yang membunuh generasi muda secara perlahan-lahan.
Korban jerubu lainnya, keluarga Ferdian yang anak semata wayangnya juga harus dirawat di rumah sakit.
Ia sudah berupaya mengungsikan anak dan istrinya ke posko kesehatan yang dibuka oleh salah satu partai politik di Pekanbaru selama seminggu.
Namun, asap yang terasa sampai dalam ruangan membuat anaknya kolaps karena sesak nafas, badannya panas tinggi hingga mengalami kejang-kejang.
"Terpaksa dari tempat pengungsian saya bawa anak ke rumah sakit. Kata dokter di tubuhnya banyak bakteri yang terbawa akibat asap," kata Ferdian di Rumah Sakit Ibu dan Anak (RSIA) Eria Bunda Pekanbaru itu.
Anaknya yang bernama Anindita Puteri Eriandy, kini harus diinfus karena kekurangan cairan. Bocah berusia tiga tahun itu kerap rewel dan hanya mau tidur ketika digendong orang tuanya. Batuknya terdengar berdahak sehingga bocah malang itu harus diterapi nebulizer, mesin pengobatan yang menguapi saluran pernafasan.
"Anak saya juga harus menjalani perawatan nebulizer empat kali dalam sehari. Kata dokter, itu untuk mengeluarkan dahak di saluran pernafasannya," ujar dia.
Baca juga: BNPB: Pergerakan asap dominan ke arah Pekanbaru
Kebakaran hutan dan lahan di Sumatera dan Kalimantan hingga kini belum ada tanda-tanda akan padam kecuali dengan bantuan hujan.
Provinsi Riau, khususnya di Kota Pekanbaru, menjadi daerah paling parah terpapar karhutla karena BNPB menyatakan asap dari Kalimantan dan Sumatera sendiri terbawa angin dan menumpuk di Pekanbaru.
Kondisi ini dinilai seperti bencana kabut asap karhutla yang terjadi pada 2015 terulang kembali. Pada bencana 2015, berdasarkan riset Bank Dunia, nilai kerugian akibat karhutla mencapai Rp221 triliun. Jumlah itu dua kali lipat dari kerugian akibat tsunami Aceh.
Pusat Studi Lingkungan Hidup Universitas Riau (UNRI) memperkirakan Riau bakal mengalami kerugian materiil sedikitnya Rp50 triliun akibat kabut asap karhutla pada tahun ini.
"Kerugian sebesar Rp50 triliun itu berasal dari terganggunya aktivitas perdagangan, jasa, kuliner, perkebunan, dan kerugian waktu 'delay' (penundaan) dari aktivitas penerbangan," kata Koordinator Pusat Studi Lingkungan Hidup UNRI, Dr Suwondo MS.
Dampak asap karhutla tersebut telah memicu kerugian ganda, untuk semua sektor kehidupan, ekonomi, sosial, ekologi, pertanian dan perkebunan, jasa, dan lainnya.
Baca juga: 33 penerbangan dibatalkan akibat kabut asap di Pekanbaru
Fakta saat ini mengindikasikan untuk Riau bakal mengalami kerugian yang sama dengan saat bencana asap karhutla pada 2015.
"Kalau bencana asap tahun 2019 lebih lama terjadi, atau sama kondisi asap tahun 2015, maka akan lebih berbahaya lagi dan fatalnya Riau mengalami kerugian ekonomi bisa mencapai Rp120 triliun lebih, sama kerugian yang dialami pada bencana asap tahun 2015," katanya.
Namun, sesungguhnya kerugian paling besar dan tidak bisa dihitung secara materi adalah rusaknya generasi muda Indonesia akibat karhutla.
Jerubu karhutla mengandung polutan ukuran mikro dan nano yang bisa terhirup langsung ke paru-paru manusia. Dampak jangka pendek, di antaranya ISPA, iritasi mata, batuk pilek, asma, dan pneumonia.
Apabila asap karhutla terus terjadi maka akan terjadi penurunan fungsi pada organ paru-paru.
Anak-anak, bayi, dan ibu hamil dinilai sangat rentan untuk terus dipaksa menghirup jerubu setiap tahun dari kebakaran lahan gambut.
Apalagi, karhutla sebenarnya sudah terjadi sejak 1997 dan bagi sebagian warga Riau, kondisi kabut asap tahun ini membawa kenangan buruk.
"Setiap kabut asap muncul, saya selalu sedih karena teringat tahun 1997 bayi di dalam kandungan isteri saya meninggal akibat asap," kata Iwan Syawa, warga Pekanbaru.
Pada 1997, kisahnya, langit Pekanbaru sangat gelap ditutup asap karhutla.
Penerbangan di Bandara Pekanbaru lumpuh, namun warga saat itu tidak tahu kalau kondisi udara sudah berbahaya.
Akibatnya, janin di kandungan istri Iwan tidak berkembang karena istrinya terpapar asap karhutla setiap hari. Jabang bayi itu akhirnya mati pada usia delapan bulan.
"Waktu Pekanbaru kabut asap lagi, saya berpikir apakah kita tidak pernah belajar dari pengalaman?" kata Iwan.
Sudah saatnya pemerintah pusat dan daerah benar-benar membuka mata, menunjukkan komitmen nyata untuk menghentikan karhutla agar tidak terus terulang setiap tahun.
Masyarakat yang tidak mampu mengungsi hanya bisa mencoba bertahan hidup di tengah jerubu, sampai akhirnya tumbang juga.
Baca juga: BNPB: asap karhutla dari sumatera dan kalimantan kumpul di Pekanbaru
Baca juga: Asap pekat, 4 maskapai alihkan penerbangan dari Pekanbaru
Tanpa alat itu, Darisa tidak mampu bertahan hidup karena didiagnosa dokter mengalami infeksi di organ pernafasannya.
"Saya nanya ke dokter, katanya ada infeksi di paru-paru," kata Deni Martadinata, ayah sang bayi kepada ANTARA.
Deni dan Kinah Susilawati, isterinya, tidak menyangka kalau putri ketiganya bisa sakit separah itu. Padahal, sejak jerubu semakin pekat, ia sudah menutup semua pintu dan jendela rumah.
Tempat tinggal keluarga tersebut di daerah Limbungan, Kecamatan Rumbai, selalu diselimuti asap pekat sisa kebakaran hutan dan lahan, terutama pada pagi dan malam hari.
Deni yang bekerja sebagai tukang pijat refleksi tidak ada pilihan selain mengurung anaknya di dalam kamar, dan dibantu dengan kipas angin untuk mengurangi bau asap karhutla yang terasa sampai dalam griyanya.
"Di dalam asap terasa sekali, tenggorokan terasa perih," kata Deni yang kini juga terserang Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) itu.
Keluarga Deni adalah bagian dari ratusan ribu warga yang sakit akibat kebakaran hutan dan lahan (karhutla) yang terjadi pada 2019.
Baca juga: 11.268 orang terkena ISPA di Pekanbaru akibat asap karhutla
Data Badan Nasional Penanggulangan Bencana Daerah (BNPB) menyebutkan nyaris satu juta korban, tepatnya 919.516 orang, menderita ISPA akibat terpapar asap karhutla. Secara rinci, 275.793 penderita ISPA di Provinsi Riau, 291.807 di Sumatera Selatan, 180.695 di Kalimantan Barat, 67.293 di Kalimantan Tengah, dan 63.445 di Jambi.
Deni hanya bisa pasrah dan berdoa agar asap segera hilang dan orang-orang yang sengaja membakar lahan bisa sadar akan perbuatan jahat mereka.
"Harapan saya semoga asap ini cepat berlalu, berdoa semoga cepat turun hujan. Pemerintah sudah upayakan pemadaman, saya pesan kepada orang-orang yang punya lahan jangan korbankan orang banyak untuk kepentingan pribadi atau korporasi. Anak-anak yang terdampak banyak sekali," ujarnya.
Sebagian masyarakat di daerah yang terpapar asap karhutla hanya bisa bertahan karena tidak ada dana untuk bisa mengungsi ke luar daerah.
Namun, ketika jerubu tidak hanya merenggut langit biru melainkan juga mengubah udara bagaikan racun yang membunuh generasi muda secara perlahan-lahan.
Korban jerubu lainnya, keluarga Ferdian yang anak semata wayangnya juga harus dirawat di rumah sakit.
Ia sudah berupaya mengungsikan anak dan istrinya ke posko kesehatan yang dibuka oleh salah satu partai politik di Pekanbaru selama seminggu.
Namun, asap yang terasa sampai dalam ruangan membuat anaknya kolaps karena sesak nafas, badannya panas tinggi hingga mengalami kejang-kejang.
"Terpaksa dari tempat pengungsian saya bawa anak ke rumah sakit. Kata dokter di tubuhnya banyak bakteri yang terbawa akibat asap," kata Ferdian di Rumah Sakit Ibu dan Anak (RSIA) Eria Bunda Pekanbaru itu.
Anaknya yang bernama Anindita Puteri Eriandy, kini harus diinfus karena kekurangan cairan. Bocah berusia tiga tahun itu kerap rewel dan hanya mau tidur ketika digendong orang tuanya. Batuknya terdengar berdahak sehingga bocah malang itu harus diterapi nebulizer, mesin pengobatan yang menguapi saluran pernafasan.
"Anak saya juga harus menjalani perawatan nebulizer empat kali dalam sehari. Kata dokter, itu untuk mengeluarkan dahak di saluran pernafasannya," ujar dia.
Baca juga: BNPB: Pergerakan asap dominan ke arah Pekanbaru
Kebakaran hutan dan lahan di Sumatera dan Kalimantan hingga kini belum ada tanda-tanda akan padam kecuali dengan bantuan hujan.
Provinsi Riau, khususnya di Kota Pekanbaru, menjadi daerah paling parah terpapar karhutla karena BNPB menyatakan asap dari Kalimantan dan Sumatera sendiri terbawa angin dan menumpuk di Pekanbaru.
Kondisi ini dinilai seperti bencana kabut asap karhutla yang terjadi pada 2015 terulang kembali. Pada bencana 2015, berdasarkan riset Bank Dunia, nilai kerugian akibat karhutla mencapai Rp221 triliun. Jumlah itu dua kali lipat dari kerugian akibat tsunami Aceh.
Pusat Studi Lingkungan Hidup Universitas Riau (UNRI) memperkirakan Riau bakal mengalami kerugian materiil sedikitnya Rp50 triliun akibat kabut asap karhutla pada tahun ini.
"Kerugian sebesar Rp50 triliun itu berasal dari terganggunya aktivitas perdagangan, jasa, kuliner, perkebunan, dan kerugian waktu 'delay' (penundaan) dari aktivitas penerbangan," kata Koordinator Pusat Studi Lingkungan Hidup UNRI, Dr Suwondo MS.
Dampak asap karhutla tersebut telah memicu kerugian ganda, untuk semua sektor kehidupan, ekonomi, sosial, ekologi, pertanian dan perkebunan, jasa, dan lainnya.
Baca juga: 33 penerbangan dibatalkan akibat kabut asap di Pekanbaru
Fakta saat ini mengindikasikan untuk Riau bakal mengalami kerugian yang sama dengan saat bencana asap karhutla pada 2015.
"Kalau bencana asap tahun 2019 lebih lama terjadi, atau sama kondisi asap tahun 2015, maka akan lebih berbahaya lagi dan fatalnya Riau mengalami kerugian ekonomi bisa mencapai Rp120 triliun lebih, sama kerugian yang dialami pada bencana asap tahun 2015," katanya.
Namun, sesungguhnya kerugian paling besar dan tidak bisa dihitung secara materi adalah rusaknya generasi muda Indonesia akibat karhutla.
Jerubu karhutla mengandung polutan ukuran mikro dan nano yang bisa terhirup langsung ke paru-paru manusia. Dampak jangka pendek, di antaranya ISPA, iritasi mata, batuk pilek, asma, dan pneumonia.
Apabila asap karhutla terus terjadi maka akan terjadi penurunan fungsi pada organ paru-paru.
Anak-anak, bayi, dan ibu hamil dinilai sangat rentan untuk terus dipaksa menghirup jerubu setiap tahun dari kebakaran lahan gambut.
Apalagi, karhutla sebenarnya sudah terjadi sejak 1997 dan bagi sebagian warga Riau, kondisi kabut asap tahun ini membawa kenangan buruk.
"Setiap kabut asap muncul, saya selalu sedih karena teringat tahun 1997 bayi di dalam kandungan isteri saya meninggal akibat asap," kata Iwan Syawa, warga Pekanbaru.
Pada 1997, kisahnya, langit Pekanbaru sangat gelap ditutup asap karhutla.
Penerbangan di Bandara Pekanbaru lumpuh, namun warga saat itu tidak tahu kalau kondisi udara sudah berbahaya.
Akibatnya, janin di kandungan istri Iwan tidak berkembang karena istrinya terpapar asap karhutla setiap hari. Jabang bayi itu akhirnya mati pada usia delapan bulan.
"Waktu Pekanbaru kabut asap lagi, saya berpikir apakah kita tidak pernah belajar dari pengalaman?" kata Iwan.
Sudah saatnya pemerintah pusat dan daerah benar-benar membuka mata, menunjukkan komitmen nyata untuk menghentikan karhutla agar tidak terus terulang setiap tahun.
Masyarakat yang tidak mampu mengungsi hanya bisa mencoba bertahan hidup di tengah jerubu, sampai akhirnya tumbang juga.
Baca juga: BNPB: asap karhutla dari sumatera dan kalimantan kumpul di Pekanbaru
Baca juga: Asap pekat, 4 maskapai alihkan penerbangan dari Pekanbaru
Editor: M. Hari Atmoko
Copyright © ANTARA 2019
Tags: