"Kebakaran hutan dan lahan masih saja terjadi, terutama di Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Tengah dan Kalimantan Barat, hal ini mengancam target penurunan emisi terutama dari sektor berbasis lahan," kata Yuyun kepada ANTARA, Jakarta, Jumat.
Pemerintah Indonesia menargetkan penurunan emisi 26 persen pada 2020. Sementara pada 2030 pemerintah berupaya menurunkan emisi dari semua sektor sebesar 29 persen dengan usaha sendiri atau sampai 41 persen dengan bantuan pendanaan dari luar negeri.
Yuyun menuturkan menjelang Climate Action Summit, kebakaran hutan dan lahan semakin parah, mengancam target penurunan emisi dari sektor berbasis lahan dan menyebabkan bencana asap yang berbahaya bagi kesehatan dan keselamatan masyarakat.
Baca juga: Kebakaran hutan berlanjut, KLHK sebut emisi GRK masih lebih rendah
Baca juga: Kabut asap karhutla naikkan biaya hidup di Pekanbaru
Kabut asap ganggu jarak pandang perahu di Sungai Musi
Menurut Yuyun, penurunan emisi dari deforestasi yang diklaim oleh pemerintah menurun menjadi tidak signifikan karena emisi dari kebakaran hutan dan lahan terus meningkat.
Total luas kebakaran hutan dan lahan dari Januari hingga Agustus 2019 mencapai 328.724 hektar. Emisi yang dihasilkan dari kebakaran hutan dan lahan tersebut mencapai 109,7 juta ton CO2 ekuivalen, kebakaran lahan gambut saja menyebabkan emisi 82,7 juta ton CO2 ekuivalen dari Januari-Agustus 2019.
"Pemerintah pusat maupun daerah seolah tidak belajar dari kebakaran hutan dan lahan yang terjadi setiap tahun," ujar Yuyun.
Sesuai catatan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyatakan bahwa luas lahan terbakar akibat karhutla di Riau mencapai 49.266 hektare. Terdiri dari 40.553 hektare lahan gambut dan 8.713 hektare lahan mineral.*
Baca juga: Hasil pengujian: Udara Tanah Datar tak sehat
Baca juga: Asap dari tiga wilayah mengalir ke Bintan dan Tanjungpinang