Luwuk (ANTARA News) - Hampir seluruh wilayah kecamatan di wilayah Pulau Peleng, Kabupaten Banggai Kepulauan (Bangkep), Sulawesi Tengah, kurun sepekan terakhir mulai mengalami krisis BBM jenis premium, solar, dan minyak tanah. Krisis BBM ini disebabkan adanya tindakan blokade terhadap kapal motor pelayaran rakyat dan motor tempel dari Pulau Peleng di Pelabuhan Banggai (Pulau Banggai) yang dilakukan oleh massa rakyat setempat, akibat kekecewaan mereka atas hasil keputusan Mahkamah Konstitusi/MK baru-baru ini. Suhartono, warga desa Sambiut di Kecamatan Totikum, Jumat, mengatakan masyarakat di daerahnya sejak Jumat pekan lalu (20/6) semakin sulit mendapatkan premium, solar, dan minyak tanah di pasaran. "Kalaupun masih mendapatkan, harga jualnya sudah melambung," kata dia saat ditemui di Luwuk. Ia menjelaskan, di beberapa kawasan di Pulau Peleng, premium bahkan sudah dijual para pengecer dengan harga antara Rp10.000 hingga Rp12.000 per botol (ukuran 2/3 liter). Sementara untuk minyak tanah, dijual dengan harga antara Rp4.000-Rp5.000 per botol. "Kondisi demikian ini telah menyulitkan masyarakat di wilayah kami, karena aktivitas keseharian menjadi terganggu. Apalagi tarif angkutan jasa dan barang juga sudah dinaikkan para sopir," katanya mengeluh. Panil, warga di Kecamatan Liang (Pulau Peleng), mengatakan persediaan BBM yang masih ada di wilayahnya saat ini tinggal sisa-sisa stok pembelian beberapa pekan lalu. Ia mengkhawatirkan, kalau sisa stok yang ada habis, maka kesulitan rakyat di Pulau Peleng akan semakin bertambah dan kegiatan perekonomian bisa lumpuh total. Panil berharap Pemkab Bangkep segera mengambil langkah untuk mengatasi kelangkaan BBM di Pulau Peleng, seperti meminta suplai stok dari Depot Pertamina Luwuk, Kabupaten Banggai (bagian paling timur daratan Pulau Sulawesi). Kelangkaan BBM ini juga sudah mengancam operasional perusahaan budidaya mutiara di Desa Bobu, Kecamatan Tinangkung (Pulau Peleng), akibat permintaan BBM ke Depot Pertamina yang ada di kota Banggai ditentang oleh masyarakat setempat. Dari kota Banggai sendiri dilaporkan bahwa masyarakat setempat yang kecewa dengan putusan MK terkait sengketa ibukota Kabupaten Bangkep, terus melakukan razia terhadap agen dan pengecer BBM agar tidak ada stok yang dibawa ke Pulau Peleng. Selain itu, massa rakyat menyita puluhan drum kosong di agen dan pengecer BBM, karena dicurigai akan diisi solar, premium, dan minyak tanah untuk seberangkan ke Pulau Peleng. Konflik di tengah masyarakat Bangkep dipicu adanya "dualisme" ibukota kabupaten yang tercantum dalam UU No.51 Tahun 1999 tentang pembentukan daerah otonom di wilayah paling timur Provinsi Sulawesi Tengah ini. Dalam Pasal 10 UU tersebut dinyatakan, ibukota Kabupaten Bangkep berkedudukan di kota Banggai (Pulau Banggai). Namun dalam Pasal 11-nya menyebutkan setelah lima tahun peresmian, ibukota kabupaten ini dipindahkan ke Salakan (Pulau Peleng). Karena menilai Pasal 11 UU tersebut merupakan pasal selundupan, disebabkan tak pernah direkomendasikan oleh lembaga legislatif dan eksekutif di tingkat daerah dan pemerintah pusat serta tak pernah dibahas dalam Badan Musyawarah DPR, selain alasan "salah kamar" karena rumusan pasal ini seharusnya berada pada tingkatan Peraturan Pemerintah dan dampaknya telah menimbulkan konflik di tengah masyarakat, Lembaga Musyawarah Adat Banggai/LMAB kemudian mengajukan yudical review terhadap Pasal 11 ini untuk dibatalkan. MK sendiri dalam keputusannya yang dibacakan Kamis pekan lalu (19/6) menyatakan tidak menerima permohonan gugatan yudicial review yang diajukan LMAB dengan alasan penggugat tak memenuhi kualifikasi sebagai "legal standing". Akibat dari keputusan MK ini, aktivitas seluruh pemerintahan di Kabupaten Bangkep yang selama sekitar delapan tahun dijalankan di kota Banggai (Pulau Banggai) dengan sarana dan prasarananya telah tersedia memadai, terpaksa harus dipindahkan ke Salakan (ibukota kecamatan Tinangkung di Pulau Peleng) sekalipun membutuhkan dana yang tidak sedikit untuk membangun lagi fasilitas pemerintahan baru. Kota Banggai sebelumnya merupakan ibukota Kerajaan Banggai dan selama ini menjadi kota dagang. Di kota ini terdapat distributor berbagai kebutuhan pokok dan kebutuhan strategis, termasuk tempat berdirinya Depot Pertamina yang melayani kebutuhan seluruh masyarakat di Pulau Peleng dan Kepulauan Sula di Provinsi Maluku Utara. Karena itu, jika terjadi embargo masalah ekonomi dari kota Banggai, akan menyulitkan banyak pihak, termasuk masyarakat luas.(*)