Jakarta (ANTARA) - Indonesia dinilai perlu terus berinovasi dalam memberikan layanan kesehatan bagi warganya sejalan dengan fokus meningkatkan akses layanan kesehatan yang berkualitas.

Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Felippa A. Amanta dalam siaran pers di Jakarta, Rabu, mengatakan Indonesia sebagai salah satu anggota PBB perlu melakukan beberapa penyesuaian yang mengacu pada Sustainable Development Goals (SDGs atau Tujuan Pembangunan Berkelanjutan).

"Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam sistem pelayanan kesehatan di Indonesia, diantaranya tarif obat-obat penting yang tinggi dan kebijakan perdagangan yang terlalu protektif membuat harga obat menjadi mahal dan membatasi pilihan obat yang ada," katanya.

Kedua hal itu, disebut Felippa, telah menyebabkan jenis obat yang beredar di Indonesia tidak sebanyak di negara-negara lain. Bahkan hanya setengah dari jenis obat-obatan penting yang ada dalam daftar WHO yang beredar di Tanah Air.

"Survei dari sekitar 9.000 penyedia layanan kesehatan menemukan bahwa 85 persen dari mereka hanya memiliki sekitar 80 persen dari total obat-obatan penting yang ada dalam daftar WHO. Hal ini dikhawatirkan akan menyebabkan pelayanan kesehatan untuk warga menjadi tidak maksimal. Keterbatasan pilihan juga menyebabkan mereka harus membayar lebih mahal untuk mendapatkan perawatan kesehatan," ungkapnya.


Baca juga: Manfaatkan data raksasa efisienkan biaya kesehatan, sebut IDI

Selain itu, Felippa juga menyebut berbelit-belitnya birokrasi menyebabkan biaya transaksi menjadi tinggi. Birokrasi yang tidak efisien juga menyebabkan adanya penundaan yang berdampak negatif bagi warga yang membutuhkan obat-obatan. Waktu yang dibutuhkan untuk obat baru bisa masuk ke pasar Indonesia adalah selama 1.057 hari dan 800 hari di China.

Meski tarif obat rata-rata global secara keseluruhan telah turun dalam beberapa tahun terakhir, banyak negara masih menerapkan tarif untuk obat-obatan impor. Tingkat rata-rata pengenaan tarif tertinggi ditemukan di Asia Selatan dan Amerika Latin.

Berdasarkan data Tarif WTO, Nepal menjadi negara yang memberlakukan tarif tinggi untuk obat-obatan impor, yaitu sebesar 14,7 persen. Sementara itu Indonesia menerapkan tarif sebesar 4,3 persen.

Kendati banyak negara di luar perjanjian tersebut tidak mengenakan tarif pada obat-obatan, tapi masih ada yang memberlakukannya. Faktanya, nilai perdagangan biofarmasi di seluruh dunia di negara-negara yang tidak termasuk dalam perjanjian meningkat lebih dari 20 persen antara tahun 2006 dan 2013.


Baca juga: BPJS persingkat waktu layanan administrasi JKN

Indonesia sendiri menerapkan tarif pada impor pada bahan-bahan farmasi yang dibutuhkan untuk memproduksi obat. Hal ini, lanjut Felippa, tentu berdampak pada harga jual obat tersebut.

"Indonesia juga idealnya mulai menghapuskan hambatan non tarif dalam perdagangan. Hal ini penting untuk menjaga stabilitas harga obat. Ke depannya hal ini tentu berdampak pada kualitas hidup warganya," katanya.

Beberapa hal yang termasuk ke dalam Non-Tariff Measures (NTMs) antara lain adalah prosedur bea cukai yang tidak efisien, prosedur ekspor/impor yang rumit, birokrasi administrasi, pajak yang tidak transparan dan infrastruktur perdagangan yang kurang digunakan.

Untuk obat-obatan, Indonesia juga menerapkan persyaratan pelabelan dan pengemasan yang tidak mudah, kebutuhan importir untuk memiliki banyak izin dan lisensi dan persyaratan bahwa obat-obatan impor harus melewati pelabuhan tertentu.

Baca juga: Digitalisasi rumah sakit menuju efektivitas dan efisiensi layanan
Baca juga: Jasa Raharja buka layanan kesehatan awak angkutan umum