Pengamat dorong perluasan objek cukai selain rokok
18 September 2019 18:21 WIB
Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo menyebut sebaiknya pemerintah memperluas objek cukai selain hasil tembakau, dalam diskusi "Menakar Peluang Penerimaan Cukai 2020" di Jakarta, Rabu (18/9/2019), (ANTARA News/Dewa Wiguna)
Jakarta (ANTARA) - Pengamat dari Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) mendorong pemerintah melakukan perluasan objek cukai selain hasil tembakau atau rokok sehingga penerimaan negara lebih optimal.
"Negara lain punya objek cukai yang banyak. Di Indonesia, penerimaan cukai terhadap produk domestik bruto (PDB) tergolong rendah yakni 1,2 persen," kata Direktur Eksekutif CITA Yustinus Prastowo dalam diskusi "Menakar Peluang Penerimaan Cukai 2020" di Jakarta, Rabu.
Menurut dia, kontribusi objek cukai terbesar saat ini adalah cukai hasil tembakau mencapai 95 persen dengan target mencapai Rp212 triliun.
Baca juga: PBNU: kebijakan cukai rokok Jangan beratkan petani tembakau
Sisanya, berasal dari minuman beralkohol dan penerimaan cukai lainnya.
Ia mengungkapkan potensi penerimaan cukai bisa didapatkan dari produk minuman pemanis buatan atau bersoda, plastik, hingga bahan bakar atau energi dari fosil.
Meski demikian, ia mengakui upaya perluasan tersebut akan menuai pro dan kontra apalagi kompetisi antarindustri semakin ketat.
Baca juga: Dirjen BC pastikan kenaikan tarif cukai rokok lindungi padat karya
Di kawasan negara-negara di Asia Tenggara, objek cukai Tanah Air masih tergolong sedikit jika dibandingkan Thailand, Laos, Kamboja, dan Myanmar.
Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengumumkan kenaikan tarif cukai rokok sebesar 23 persen diikuti harga jual eceran sebesar 35 persen.
Menkeu mengatakan kenaikan tarif tersebut melalui sejumlah pertimbangan aspek kesehatan yakni pengendalian konsumsi, penerimaan negara dan sektor produksi terutama para petani dan pengusaha kecil.
Pemerintah akan menerapkan kenaikan tarif cukai sebesar 23 persen dan harga jual eceran 35 persen pada 1 Januari 2020 yang dituangkan dalam peraturan menteri keuangan.
"Negara lain punya objek cukai yang banyak. Di Indonesia, penerimaan cukai terhadap produk domestik bruto (PDB) tergolong rendah yakni 1,2 persen," kata Direktur Eksekutif CITA Yustinus Prastowo dalam diskusi "Menakar Peluang Penerimaan Cukai 2020" di Jakarta, Rabu.
Menurut dia, kontribusi objek cukai terbesar saat ini adalah cukai hasil tembakau mencapai 95 persen dengan target mencapai Rp212 triliun.
Baca juga: PBNU: kebijakan cukai rokok Jangan beratkan petani tembakau
Sisanya, berasal dari minuman beralkohol dan penerimaan cukai lainnya.
Ia mengungkapkan potensi penerimaan cukai bisa didapatkan dari produk minuman pemanis buatan atau bersoda, plastik, hingga bahan bakar atau energi dari fosil.
Meski demikian, ia mengakui upaya perluasan tersebut akan menuai pro dan kontra apalagi kompetisi antarindustri semakin ketat.
Baca juga: Dirjen BC pastikan kenaikan tarif cukai rokok lindungi padat karya
Di kawasan negara-negara di Asia Tenggara, objek cukai Tanah Air masih tergolong sedikit jika dibandingkan Thailand, Laos, Kamboja, dan Myanmar.
Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengumumkan kenaikan tarif cukai rokok sebesar 23 persen diikuti harga jual eceran sebesar 35 persen.
Menkeu mengatakan kenaikan tarif tersebut melalui sejumlah pertimbangan aspek kesehatan yakni pengendalian konsumsi, penerimaan negara dan sektor produksi terutama para petani dan pengusaha kecil.
Pemerintah akan menerapkan kenaikan tarif cukai sebesar 23 persen dan harga jual eceran 35 persen pada 1 Januari 2020 yang dituangkan dalam peraturan menteri keuangan.
Pewarta: Dewa Ketut Sudiarta Wiguna
Editor: Budi Suyanto
Copyright © ANTARA 2019
Tags: