Jakarta (ANTARA) - Majelis Ulama Indonesia (MUI) menyarankan agar DPR tidak buru-buru untuk mengesahkan RUU KUHP (RKUHP) sebelum berakhirnya masa jabatan anggota legislatif periode (2014-2019).
Wakil Ketua Dewan Pertimbangan MUI, Didin Hafidhuddin, seusai rapat pleno ke-43 Dewan Pertimbangan MUI, di Jakarta, Rabu, mengatakan, masih ada beberapa pasal dalam RKUHP yang dianggap berpotensi jadi kontroversial dikemudian hari.
"Beberapa pasal yang rawan ditafsirkan bermacam-macam, sebaiknya ditunda kalau memang masih dibutuhkan perbaikan," kata dia.
Contohnya, kata dia, dalam pasal 480 ayat 1 dan 3 dengan masalah yang berkaitan soal kekerasan dan bukan kekerasan. Pasal itu dia katakan bisa menjadi multi tafsir karena tidak menjelaskan secara spesifik.
"Apakah berlaku pasal itu pada suami istri yang sah, dan soal sukarelanya apakah berlaku kepada laki-laki dan perempuan yang bukan suami istri," ucapnya.
Juga baca: Menkumham minta hapus pasal 418 RKUH-Pidana
Juga baca: DPR selesaikan pembahasan RUU KUHP
Juga baca: Pencemaran nama baik didorong masuk ranah perdata
Menurut informasi, katanya kalau memang tidak bisa ditunda dan DPR tetap akan mengesahkan RUU KUHP menjadi undang-undang pada 23-24 September 2019 mendatang, maka setidaknya sejumlah pasal-pasal yang dianggap "bermasalah" itu harus segera diperbaiki.
"Kalau memang tidak bisa ditunda, kita berharap masukan-masukan dari masyarakat ini bisa didengar dan diperbaiki," ujarnya.
MUI sarankan DPR tak buru-buru sahkan RKUHP
18 September 2019 17:59 WIB
Wakil Ketua Dewan Pertimbangan MUI, Didin Hafidhuddin, seusai rapat pleno ke-43 Dewan Pertimbangan MUI, di Jakarta, Rabu, (18/09/2019). ANTARA/Boyke Watra
Pewarta: Boyke Ledy Watra
Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2019
Tags: