Legislator: Kebijakan cukai jangan sisakan celah untuk dimanfaatkan
17 September 2019 17:32 WIB
Ilustrasi : Sejumlah karyawan melakukan pelintingan rokok di area sigaret kretek tangan (SKT) di PT Gelora Djaja Surabaya, Jatim. (Antara/M Risyal Hidayat)
Jakarta (ANTARA) - Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Komisi XI Ahmad Najib mengharapkan kebijakan cukai pemerintah hendaknya tidak menyisakan celah untuk dimanfaatkan sehingga hasilnya bisa berkeadilan.
"Prinsip dalam sebuah kebijakan itu salah satunya menganut asas keadilan, jangan menganut asas menyeluruh dengan menyisakan celah untuk dimanfaatkan,” katanya dalam keterangannya di Jakarta, Selasa.
Pernyataan tersebut menanggapi wacana penggabungan sigaret kretek mesin (SKM) dan sigaret putih mesin (SPM) menjadi tiga miliar batang yang saat ini masih dikaji oleh pemerintah.
Menurut Najib, penggabungan SKM dan SPM perlu dilakukan agar tidak ada lagi pabrikan besar asing yang memanfaatkan celah dengan membayar tarif cukai murah.
Data menunjukkan, aturan mengenai penggabungan batasan produksi SKM dan SPM ini sejatinya telah diterapkan pada PMK 146 Tahun 2017 kemudian direvisi menjadi PMK 156 Tahun 2018.
Baca juga: Sri Mulyani beberkan pertimbangan pemerintah naikkan cukai rokok
Sayangnya, dalam aturan yang baru poin penggabungan batasan produksi SKM dan SPM dihapuskan. Hal ini yang kemudian menjadi kegaduhan di industri rokok.
Padahal aturan tersebut sudah mencerminkan azas keadilan yakni pabrikan besar tidak akan berhadapan dengan pabrikan kecil.
“Batasan volume produksi dijadikan acuan besaran cukai sangat mudah untuk diakali, salah satunya dengan sengaja untuk tidak mencapai batasan volume tadi, sehingga bea yang diterapkan akan rendah,” kata Najib.
Oleh karena itu, dia berharap pemerintah tidak menerapkan sebuah kebijakan yang dengan mudah disiasati sehingga tujuan dan target dari kebijakan yang akan diterapkan tidak akan pernah tercapai.
Sebelumnya, hasil penelitian Indef menunjukkan ada ketidaksesuaian tarif cukai rokok yaitu terdapat perusahaan yang tidak ingin mencapai batas produksi SKM atau SPM tiga miliar batang.
Jumlah ini adalah batas minimal produksi agar sebuah perusahaan rokok membayar tarif cukai tertinggi (golongan 1). Dengan begitu, perusahaan besar akan bersaing dengan pabrikan besar dan demikian sebaliknya.
Data Indef sebelumnya, bahkan menunjukkan terdapat pabrikan besar asing yang memproduksi SPM sebanyak 2,9 miliar batang atau hanya 100 ribu di bawah batas tiga miliar batang agar mereka terhindar dari cukai tertinggi dan cukup membayar tarif golongan dua yang nilainya jauh lebih murah.
Baca juga: Penggabungan SKM dan SPM dinilai tak pengaruhi pabrikan rokok kecil
Direktur Eksekutif Indef Tauhid Ahmad menyebut, hal serupa juga terjadi pada SKM.
"Jika perusahaan rokok SKM golongan 2B (tarif cukai rendah) memproduksi satu miliar batang dengan harga jual minimum Rp715 per batang, pendapatan kotornya Rp715 miliar per tahun. Apakah ini termasuk perusahaan kecil?” kata Tauhid.
"Prinsip dalam sebuah kebijakan itu salah satunya menganut asas keadilan, jangan menganut asas menyeluruh dengan menyisakan celah untuk dimanfaatkan,” katanya dalam keterangannya di Jakarta, Selasa.
Pernyataan tersebut menanggapi wacana penggabungan sigaret kretek mesin (SKM) dan sigaret putih mesin (SPM) menjadi tiga miliar batang yang saat ini masih dikaji oleh pemerintah.
Menurut Najib, penggabungan SKM dan SPM perlu dilakukan agar tidak ada lagi pabrikan besar asing yang memanfaatkan celah dengan membayar tarif cukai murah.
Data menunjukkan, aturan mengenai penggabungan batasan produksi SKM dan SPM ini sejatinya telah diterapkan pada PMK 146 Tahun 2017 kemudian direvisi menjadi PMK 156 Tahun 2018.
Baca juga: Sri Mulyani beberkan pertimbangan pemerintah naikkan cukai rokok
Sayangnya, dalam aturan yang baru poin penggabungan batasan produksi SKM dan SPM dihapuskan. Hal ini yang kemudian menjadi kegaduhan di industri rokok.
Padahal aturan tersebut sudah mencerminkan azas keadilan yakni pabrikan besar tidak akan berhadapan dengan pabrikan kecil.
“Batasan volume produksi dijadikan acuan besaran cukai sangat mudah untuk diakali, salah satunya dengan sengaja untuk tidak mencapai batasan volume tadi, sehingga bea yang diterapkan akan rendah,” kata Najib.
Oleh karena itu, dia berharap pemerintah tidak menerapkan sebuah kebijakan yang dengan mudah disiasati sehingga tujuan dan target dari kebijakan yang akan diterapkan tidak akan pernah tercapai.
Sebelumnya, hasil penelitian Indef menunjukkan ada ketidaksesuaian tarif cukai rokok yaitu terdapat perusahaan yang tidak ingin mencapai batas produksi SKM atau SPM tiga miliar batang.
Jumlah ini adalah batas minimal produksi agar sebuah perusahaan rokok membayar tarif cukai tertinggi (golongan 1). Dengan begitu, perusahaan besar akan bersaing dengan pabrikan besar dan demikian sebaliknya.
Data Indef sebelumnya, bahkan menunjukkan terdapat pabrikan besar asing yang memproduksi SPM sebanyak 2,9 miliar batang atau hanya 100 ribu di bawah batas tiga miliar batang agar mereka terhindar dari cukai tertinggi dan cukup membayar tarif golongan dua yang nilainya jauh lebih murah.
Baca juga: Penggabungan SKM dan SPM dinilai tak pengaruhi pabrikan rokok kecil
Direktur Eksekutif Indef Tauhid Ahmad menyebut, hal serupa juga terjadi pada SKM.
"Jika perusahaan rokok SKM golongan 2B (tarif cukai rendah) memproduksi satu miliar batang dengan harga jual minimum Rp715 per batang, pendapatan kotornya Rp715 miliar per tahun. Apakah ini termasuk perusahaan kecil?” kata Tauhid.
Pewarta: Edy Sujatmiko
Editor: Nusarina Yuliastuti
Copyright © ANTARA 2019
Tags: