Demonstrasi itu bersahut-sahutan, dimana masing-masing pihak meyakini yang disuarakannya adalah yang paling benar.
Demonstrasi mendukung RUU PKS mayoritas dilakukan kelompok massa perempuan dari berbagai elemen baik mahasiswa, LSM dan lembaga-lembaga advokasi lainnya.
Sementara demonstrasi penolak RUU PKS dilakukan massa dari berbagai organisasi kemasyarakatan dan elemen mahasiswa.
Juga baca: Pegiat Perempuan sebut DPR tak serius bahas RUU kekerasan seksual
Kedua demonstrasi itu dipisahkan barisan polisi guna menghindari bentrokan yang tidak diinginkan.
Direktur Lembaga Kajian Hukum Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI), Mira Fajri, selaku salah satu elemen penolak RUU PKS mengemukakan alasan mereka menolak RUU PKS lantaran RUU itu malah menyuburkan perzinahan.
"RUU PKS memuat pemahaman yang malah menyuburkan perzinaan, pelacuran hingga perilaku penyimpangan seksual seperti menyukai sesama jenis, berhubungan seksual dengan anak kecil, hewan, dengan orang yang memiliki hubungan darah, dan lainnya," ujar Mira.
Juga baca: Anggota DPR: pembahasan RUU PKS setelah pembahasan Revisi UU KUHP
Ia mengatakan RUU PKS juga menyatakan bahwa perbuatan seksual menyimpang yang tidak dalam keadaan paksa alias suka sama suka tidak dilarang.
"Hal ini nantinya menjadi dasar menyuburkan perzinaan, prostitusi, aborsi dan lainnya," tegas dia.
Sementara itu anggota Fatayat NU Wahidah Suaib yang menjadi pihak pendukung RUU PKS menyatakan RUU PKS justru melindungi seluruh pihak dari kekerasan seksual.
Juga baca: RUU PKS payung hukum cegah korban kekerasan seksual
"Karena catatan Komnas Perempuan kekerasan seksual itu semakin meningkat dan semakin banyak varian jenis kekerasannya," jelas Wahidah.
Ia menegaskan undang-undang yang ada saat ini belum bisa menjadi payung hukum yang memadai untuk melindungi perempuan dari korban kekerasan.
Ia mengingatkan RUU PKS disusun atas masukan berbagai elemen baik Komnas Perempuan, LSM, jaringan advokasi serta melibatkan akademisi, kelompok agama dan praktisi hukum.
Ia menegaskan RUU PKS sama sekali tidak melegitimasi seks bebas dna semacamnya. "Tidak mungkin akademisi mengusulkan RUU untuk merusak moral bangsa," jelas dia.