Kebakaran hutan berlanjut, KLHK sebut emisi GRK masih lebih rendah
16 September 2019 20:04 WIB
Direktur Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Ruandha Agung Sugardiman. (ANTARA/Muhammad Zulfikar)
Jakarta (ANTARA) - Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menyebut tingkat emisi gas rumah kaca (GRK) periode Januari sampai Agustus 2019 masih lebih rendah dibanding periode yang sama di 2018 meski kebakaran hutan dan lahan di sejumlah daerah masih terus terjadi.
"Jadi dari hitungan kami, dari Januari sampai 31 Agustus 2019, jumlah emisi itu sekitar 109 juta CO2 equivalen. Nah ini masih di bawah tahun lalu," kata Direktur Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Ruandha Agung Sugardiman usai peluncuran wahana baru di Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta, Senin.
Baca juga: PBNU serukan cabut izin perusahaan pembakar hutan
Baca juga: Asosiasi petani sawit Riau sepakat musuhi pembakar lahan
Pada periode yang sama di 2018, menurut Ruandha, tercatat tingkat emisi GRK di Indonesia mencapai 121 juta CO2 equivalen. "Nah oleh karena itu, sekarang kita upayakan jangan sampai melebihi tahun lalu".
Ruandha mengatakan KLHK dan seluruh pihak terkait tengah berupaya menjaga agar emisi di 2019 tidak melebihi dan justru jauh menurun dibanding 2018. Upaya penurunan emisi salah satunya melalui tanggap menanggulangi dan mencegah kebakaran hutan dan lahan (karhutla) juga dilakukan untuk mencapai target penurunan emisi sebesar 26 persen pada 2020.
Namun, lanjutnya, saat ini masih terjadi karhutla di sejumlah provinsi di Indonesia seperti Riau, Kalimantan Tengah dan Kalimantan Barat. Berdasarkan catatan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), luas lahan terbakar akibat karhutla di Riau mencapai 49.266 hektare (ha), terdiri dari 40.553 ha lahan gambut dan 8.713 ha lahan mineral.
Baca juga: Pesawat kepresidenan mendarat di tengah kabut asap karhutla Pekanbaru
Baca juga: Bappenas sebut risiko karhutla paling kecil di ibu kota baru
"Upaya nyata dari KLHK cukup signifikan untuk melakukan pemadaman itu. Ini kita lakukan secara terpadu ya, Manggala Agni, kemudian TNI/Polri, masyarakat peduli api, pemegang izin, kemudian pemerintah daerah sendiri juga kita libatkan, jadi betul-betul kita all out untuk mengatasi asap ini," ujar Ruandha.
Selain upaya pemadaman dan pencegahan karhutla untuk mencapai target penurunan emisi gas rumah kaca sebesar 26 persen pada 2020, upaya lain yang dilakukan pemerintah, menurut dia, dengan berupaya mengurangi penggunaan bahan bakar fosil serta memanfaatkan dan menciptakan energi terbarukan di sektor energi.
"Jadi bahan bakar fosil itu yang harus kita segera kurangi. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral ini yang akan menggawangi upaya-upaya itu," ujar dia.
Ia mengatakan pemerintah berharap pada 2030 akan menurunkan emisi dari semua sektor sebesar 29 persen dengan usaha sendiri atau sampai 41 persen dengan bantuan pendanaan dari luar negeri.
Baca juga: BPBD Sumsel kerahkan seluruh kekuatan, tanggulangi asap karhutla
Baca juga: Anggota DPRD Riau desak musibah asap jadi bencana nasional
"Jadi dari hitungan kami, dari Januari sampai 31 Agustus 2019, jumlah emisi itu sekitar 109 juta CO2 equivalen. Nah ini masih di bawah tahun lalu," kata Direktur Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Ruandha Agung Sugardiman usai peluncuran wahana baru di Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta, Senin.
Baca juga: PBNU serukan cabut izin perusahaan pembakar hutan
Baca juga: Asosiasi petani sawit Riau sepakat musuhi pembakar lahan
Pada periode yang sama di 2018, menurut Ruandha, tercatat tingkat emisi GRK di Indonesia mencapai 121 juta CO2 equivalen. "Nah oleh karena itu, sekarang kita upayakan jangan sampai melebihi tahun lalu".
Ruandha mengatakan KLHK dan seluruh pihak terkait tengah berupaya menjaga agar emisi di 2019 tidak melebihi dan justru jauh menurun dibanding 2018. Upaya penurunan emisi salah satunya melalui tanggap menanggulangi dan mencegah kebakaran hutan dan lahan (karhutla) juga dilakukan untuk mencapai target penurunan emisi sebesar 26 persen pada 2020.
Namun, lanjutnya, saat ini masih terjadi karhutla di sejumlah provinsi di Indonesia seperti Riau, Kalimantan Tengah dan Kalimantan Barat. Berdasarkan catatan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), luas lahan terbakar akibat karhutla di Riau mencapai 49.266 hektare (ha), terdiri dari 40.553 ha lahan gambut dan 8.713 ha lahan mineral.
Baca juga: Pesawat kepresidenan mendarat di tengah kabut asap karhutla Pekanbaru
Baca juga: Bappenas sebut risiko karhutla paling kecil di ibu kota baru
"Upaya nyata dari KLHK cukup signifikan untuk melakukan pemadaman itu. Ini kita lakukan secara terpadu ya, Manggala Agni, kemudian TNI/Polri, masyarakat peduli api, pemegang izin, kemudian pemerintah daerah sendiri juga kita libatkan, jadi betul-betul kita all out untuk mengatasi asap ini," ujar Ruandha.
Selain upaya pemadaman dan pencegahan karhutla untuk mencapai target penurunan emisi gas rumah kaca sebesar 26 persen pada 2020, upaya lain yang dilakukan pemerintah, menurut dia, dengan berupaya mengurangi penggunaan bahan bakar fosil serta memanfaatkan dan menciptakan energi terbarukan di sektor energi.
"Jadi bahan bakar fosil itu yang harus kita segera kurangi. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral ini yang akan menggawangi upaya-upaya itu," ujar dia.
Ia mengatakan pemerintah berharap pada 2030 akan menurunkan emisi dari semua sektor sebesar 29 persen dengan usaha sendiri atau sampai 41 persen dengan bantuan pendanaan dari luar negeri.
Baca juga: BPBD Sumsel kerahkan seluruh kekuatan, tanggulangi asap karhutla
Baca juga: Anggota DPRD Riau desak musibah asap jadi bencana nasional
Pewarta: Martha Herlinawati S
Editor: Virna P Setyorini
Copyright © ANTARA 2019
Tags: