DPR disindir, lebih banyak tertutupnya dari terbukanya soal RKUHP
16 September 2019 19:20 WIB
Sejumlah massa aksi demo yang mengatasnamakan diri 'Aliansi Masyarakat untuk Keadilan Demokrasi' menyatakan penolakannya terhadap sejumlah pasal di dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) di depan gedung Parlemen Jakarta, Senin (16/9/2019). (ANTARA/ Abdu Faisal)
Jakarta (ANTARA) - Dewan Perwakilan Rakyat disindir keseriusannya untuk meminta masyarakat terlibat aktif dalam pembahasan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP).
Sindiran itu disampaikan orator aksi selamatkan demokrasi yang digelar di depan gedung parlemen Republik Indonesia Jakarta, Senin.
"DPR mengajak kepada publik terlibat aktif, tapi banyak yang terbukanya atau justru banyak yang tertutupnya. Silahkan jawab sendiri DPR," kata orator aksi, Lini Zurlia di Senayan Jakarta, Senin.
Perempuan yang saat ini menjabat sebagai petugas advokasi ASEAN Sogie Caucus itu sangat marah ketika mengetahui pembahasan RUU KUHP dilangsungkan secara tertutup di sebuah hotel bintang lima di Jakarta.
Padahal ia mengaku pihaknya sudah bertanya berkali-kali ke DPR mengenai perkembangan pembahasan RUU tersebut namun DPR masih tertutup sehingga pasal-pasal yang berpotensi memenjarakan warga negara ada terus sampai sekarang.
Lini yang bergabung dalam sejumlah massa Aliansi Masyarakat untuk Keadilan Demokrasi menolak pasal 'ngawur' tersebut dipertahankan.
Mereka juga menuntut penundaan pengesahan RKUHP di halaman depan pintu masuk gedung Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Senin.
Massa aksi membentangkan sejumlah poster sembari menandatangani poster berisi tulisan seruan aksi mereka menolak pasal 'ngawur' di RKUHP.
"RKUHP dapat Mengkriminalisasi Pengajaran Sains dan Logika #TundaRKUHP #HapusPasalNgawur," tulis poster tersebut.
Tampak sejumlah mahasiswa beratribut Universitas Indonesia turut bersuara di sana. Mereka sepakat meminta RKUHP tidak dulu disahkan mengingat sejumlah pasal yang terdapat di dalamnya melanggar asas demokrasi.
"Menurut kami itu telah melanggar demokrasi di Indonesia," ujar mahasiswa Vokasi UI, Aulia Fitriani.
Ia mencontohkan adanya pasal yang memperbolehkan pemerintah menangkap mahasiswa yang dianggap menghina Presiden. Ia menganggap rakyat memiliki hak untuk mengkritisi pemerintahnya.
"Maksud kami, jika kami ingin mengkritisi pemerintah kami, itu kan bisa ditangkap. Itu kan namanya melanggar demokrasi," kata Aulia.
Selain itu, kemerdekaan mengemukakan pendapat rakyat yang dijamin dalam Undang-Undang Dasar 1945, akan sirna seiring berlakunya pasal-pasal tersebut.
Baca juga: Anggota DPR: RUU KUHP upayakan tidak ada "pasal karet"
Baca juga: Pencemaran nama baik didorong masuk ranah perdata
Baca juga: DPR selesaikan pembahasan RUU KUHP
Sindiran itu disampaikan orator aksi selamatkan demokrasi yang digelar di depan gedung parlemen Republik Indonesia Jakarta, Senin.
"DPR mengajak kepada publik terlibat aktif, tapi banyak yang terbukanya atau justru banyak yang tertutupnya. Silahkan jawab sendiri DPR," kata orator aksi, Lini Zurlia di Senayan Jakarta, Senin.
Perempuan yang saat ini menjabat sebagai petugas advokasi ASEAN Sogie Caucus itu sangat marah ketika mengetahui pembahasan RUU KUHP dilangsungkan secara tertutup di sebuah hotel bintang lima di Jakarta.
Padahal ia mengaku pihaknya sudah bertanya berkali-kali ke DPR mengenai perkembangan pembahasan RUU tersebut namun DPR masih tertutup sehingga pasal-pasal yang berpotensi memenjarakan warga negara ada terus sampai sekarang.
Lini yang bergabung dalam sejumlah massa Aliansi Masyarakat untuk Keadilan Demokrasi menolak pasal 'ngawur' tersebut dipertahankan.
Mereka juga menuntut penundaan pengesahan RKUHP di halaman depan pintu masuk gedung Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Senin.
Massa aksi membentangkan sejumlah poster sembari menandatangani poster berisi tulisan seruan aksi mereka menolak pasal 'ngawur' di RKUHP.
"RKUHP dapat Mengkriminalisasi Pengajaran Sains dan Logika #TundaRKUHP #HapusPasalNgawur," tulis poster tersebut.
Tampak sejumlah mahasiswa beratribut Universitas Indonesia turut bersuara di sana. Mereka sepakat meminta RKUHP tidak dulu disahkan mengingat sejumlah pasal yang terdapat di dalamnya melanggar asas demokrasi.
"Menurut kami itu telah melanggar demokrasi di Indonesia," ujar mahasiswa Vokasi UI, Aulia Fitriani.
Ia mencontohkan adanya pasal yang memperbolehkan pemerintah menangkap mahasiswa yang dianggap menghina Presiden. Ia menganggap rakyat memiliki hak untuk mengkritisi pemerintahnya.
"Maksud kami, jika kami ingin mengkritisi pemerintah kami, itu kan bisa ditangkap. Itu kan namanya melanggar demokrasi," kata Aulia.
Selain itu, kemerdekaan mengemukakan pendapat rakyat yang dijamin dalam Undang-Undang Dasar 1945, akan sirna seiring berlakunya pasal-pasal tersebut.
Baca juga: Anggota DPR: RUU KUHP upayakan tidak ada "pasal karet"
Baca juga: Pencemaran nama baik didorong masuk ranah perdata
Baca juga: DPR selesaikan pembahasan RUU KUHP
Pewarta: Abdu Faisal
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2019
Tags: