Jakarta (ANTARA) - Akademisi sekaligus peneliti lingkungan memperkirakan hasil awal restorasi lahan gambut baru akan tampak setelah satu dekade lebih.

"Itu pun jika proses restorasi atau rehabilitasinya dalam kondisi normal dan tanpa kendala," kata Guru Besar Ilmu Tanah dan Lingkungan Universitas Tanjungpura Profesor Gusti Z. Anshari, dalam penjelasannya di Jakarta, Senin.

Oleh sebab itu, katanya, dalam satu periode mandat (lima tahun) Badan Restorasi Gambut (BRG) saat ini belum akan terlihat hasilnya.

Baca juga: Kepala BRG katakan restorasi gambut masih butuh waktu puluhan tahun

Baca juga: BRG: Pembenahan ekosistem gambut harus diperkuat untuk atasi karhutla


"Jelas tidak mungkin bisa langsung terlihat dampak restorasi dalam lima tahun ini. Mungkin perlu waktu sepuluh hingga 15 tahun baru bisa terlihat hasilnya," kata Anshari.

Terlebih, lanjut dia, jika kewenangan BRG yang masih terbatas ketimbang mandatnya yang besar masih terus terjadi, maka prosesnya bakal lebih lama lagi.

"Apalagi kalau mau terlihat hasilnya sampai revegetasi, ini tentu bisa jauh lebih lama," ujar Anshari.

BRG mendapat mandat target restorasi lahan seluas 2,7 juta hektar setelah dilakukan revisi peta lahan gambut. Keberadaan BRG menjadi basis yang membuat pengelolaan lahan gambut bisa sesuai jalur peraturan dan pengetahuan yang ada.

"Apa yang dilakukan institusi baru ini juga merupakan upaya yang sangat baru bagi kita semua. Sehingga jangan sampai usaha ini berhenti hanya karena dikejar target dan periode," kata Pengajar di Fakultas Pertanian Universitas Tanjungpura, Pontianak, Kalimantan Barat ini.

Anshari pun menyoroti kompleksitas permasalahan yang selama ini dihadapi dalam proses restorasi lahan gambut karena pengelolaannya merupakan kerja lintas struktural yang membutuhkan koordinasi serta upaya bersama agar bisa mencapai target.

Ia mengingatkan bahwa proses restorasi lahan gambut tak hanya menjadi tanggung jawab BRG, tetapi juga Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Pertanian, Pemerintah Daerah dan perusahaan-perusahaan yang mengantongi izin konsesi, serta masyarakat setempat.

"Ini tidak mudah. Butuh penyamaan visi dan pola pikir," ujarnya.

Selain soal keterbatasan wewenang, dia menilai BRG juga dihadapkan pada kebutuhan anggaran yang cukup besar untuk menjalankan program restorasi lahan gambut secara tuntas. Perusahaan-perusahaan pemegang izin konsesi yang sebelumnya tak mengeluarkan anggaran pengelolaan lahan gambut pun kini harus mengalokasikan.

"Dengan adanya BRG, isu restorasi gambut berhasil menjadi isu publik. Sehingga perusahaan-perusahaan juga sadar punya peranan dan kewajiban melakukan program restorasi di lahan mereka," kata Anshari.

Di menilai upaya restorasi lahan gambut oleh BRG yang sudah berjalan tiga tahun belakangan ini dianggap telah menjadi awal positif untuk meneruskan program restorasi ke depannya. Program restorasi gambut pun harus menjadi proses yang berkesinambungan dan tidak bisa dikatakan selesai dalam waktu tertentu.

"Sekarang mungkin belum sempurna, tapi tetap harus dilanjutkan. Karena restorasi lahan gambut ini penting buat Indonesia," ujar dia.

Baca juga: BRG operasi pembasahan gambut rawan kekeringan