Artikel
Asap karhutla datang, bukan kampanye hitam, masa depan hilang
Oleh Virna P Setyorini
16 September 2019 10:16 WIB
Warga menggunakan masker saat berada di objek wisata bantaran Sungai Kahayan, Palangka Raya, Kalimantan Tengah, Minggu (15/9/2019). Kota Palangka Raya kembali diselimuti kabut asap pekat akibat kebakaran hutan dan lahan di sejumlah daerah di Kalimantan Tengah sehingga menimbulkan aroma yang menyengat dan menggangu aktivitas warga. ANTARA FOTO/Rendhik Andika/hma/pd.
Jakarta (ANTARA) - Seorang ibu nyaris jatuh dari motornya saat berkendara di sekitar Tugu PON Kota Dumai, Riau, Jumat (13/9). Ia terlihat sempoyongan saat berhenti di lampu pengatur lalu lintas Bundaran Jalan Sukajadi-Sultan Sarif Kasim, beberapa kali sempat menyandarkan kepala di sepeda motor, sebelum ia kehilangan keseimbangannya.
Menurut Kepala Seksi Pelayanan Kesehatan Primer Dinas Kesehatan Kota Dumai Hafidz Permana, setelah dilakukan pemeriksaan medis diketahui sang ibu yang ternyata menderita asma kesulitan bernafas karena menghirup asat kebakaran hutan dan lahan (karhutla) yang pekat.
Sebelum itu, Hafidz mengatakan empat siswi SMA di Kota Dumai juga harus mendapat perawatan medis setelah mengaku pusing-pusing karena terlalu banyak menghirup asap karhutla saat mengikuti proses belajar dalam kelas.
Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kota Dumai mendapat data bahwa angka indeks standar polusi udara (ISPU) saat itu berada di atas 300 PSI sehingga masuk dalam kategori berbahaya.
Rizka (23), guru Abdurrab Islamic School di Pekanbaru kolaps saat berada di sekolah pada Selasa (10/9). Asma yang dideritanya kambuh dipicu kondisi udara yang tidak sehat oleh asap karhutla.
Pembina Yayasan Abdurrab Susiana Tabrani mengatakan Rizka diselamatkan dengan digotong beramai-ramai dari lantai tiga gedung sekolah tersebut ke Rumah Sakit Eka Hospital yang untungnya tidak jauh dari sana. Guru itu terselamatkan dan menjalani perawatan intensif dengan penyokong oksigen dan ditempatkan di kamar khusus agar tidak terpapar asap lagi.
Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Riau Mimi Nazir menyebut 39.277 warga di provinsi tersebut menderita infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) akibat polusi kabut asap karhutla yang semakin pekat sejak Agustus hingga awal September ini. Saat asap mulai pekat di akhir Juli, saat itu jumlah pasien yang terserang penyakit pernafasan meningkat.
Data Dinas Kesehatan Provinsi Riau menunjukkan jumlah penderita ISPA paling banyak ada di Kota Pekanbaru mencapai lebih dari 7.377 orang, di susul Kampar sekitar 4.152 orang, Siak mencapai 4.616 orang dan Kota Dumai ada 3.932 orang.
Baca juga: Aparat memadamkan kebakaran lahan sawit di Mukomuko
Baca juga: 5.809 personel disiagakan untuk tanggulangi karhutla Riau
Ini belum selesai, karena Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika memprakirakan musim kering belum akan berlalu hingga November. Tidak ada pula yang dapat menjamin embusan angin akan menjauhkan asap karhutla pembawa bencana itu dari masyarakat yang hidup di kota hingga pelosok provinsi yang rawan terkena kabut asap.
Sebagai pengingat, data Bank Dunia 2016 menyebutkan, kebakaran hutan dan lahan di Indonesia yang terjadi dalam satu bulan yakni pada September hingga Oktober 2015 melepaskan emisi CO2 setara dengan emisi bahan bakar fosil tahunan Jepang atau India, yang menyebabkan 69 juta populasi terekspose udara tidak sehat dan membebani anggaran lebih dari 16 miliar dolar AS atau sekitar Rp232 triliun.
Perlu dicatat, jumlah tersebut 8,28 kali lipat jumlah perkiraan defisit BPJS Kesehatan selama tahun 2019 yang mencapai Rp28 triliun. Angka itupun belum memperhitungkan dampaknya terhadap kesehatan jangka panjang masyarakat ataupun keutuhan ekosistem.
Jiwa terancam
Penelitian dengan pendekatan baru dilakukan bersama sejumlah peneliti dan instansi yang tertuang dalam publikasi di GeoHealth berjudul “Fires, Smoke Exposure, and Public Health: An Integrative Freamwork to Maximise Health Benefits From Peatland Restoration”, yang mengintegrasikan informasi penyebab emisi, berpindahnya asap karhutla karena arah angin, serta jumlah populasi yang terekspose polusi udara untuk mengukur dampak kesehatan dari berbagai skenaria pengelolaan lahan.
Kerangka kerja tersebut dibuat dengan memprioritaskan lokasi restorasi gambut guna mengurangi ekspose polusi dari emisi dampak kebakaran untuk wilayah di negara yakni Indonesia, Malaysia dan Singapura, dan untuk membangun perangkat yang membantu pengambilan keputusan pemangku kepentingan dalam menetapkan potensi skenario kebijakan lainnya terkait pemecahan persoalan kebakaran hutan dan lahan di masa depan.
Kerangka kerja terintegrasi ini dapat pula diterapkan di kawasan yang rawan terjadi kebakaran hutan dan lahan di belahan Bumi manapun, untuk membangun strategi yang mampu mengurangi jumlah masyarakat yang kesehatannya dapat memburuk berkaitan dengan biomassa yang terbakar. Hal ini disampaikan oleh salah satu penelitinya dari Department of Earth and Planetary Sciences, Harvard University, Tianjia Liu.
Skenario bisnis seperti biasa layaknya yang berjalan saat ini (business as usual/BAU) pada perubahan penggunaan lahan periode 2010-2030 memproyeksikan akan adanya penurunan luasan hutan alam, hutan sekunder, bersamaan juga dengan nonhutan, perluasan perkebunan atau hutan tanaman. Di Sumatera, total tutupan hutan menurun dari 31 persen ke 24 persen dari 2010 ke 2030, dan tutupan hutan di lahan gambut akan berkurang dari 33 persen menjadi delapan persen.
Tren BAU di Kalimantan memprediksi berkurangnya tutupan hutan dari 54 persen ke 49 persen dan 45 persen ke 28 persen di hutan dan lahan gambut. Kebanyakan perubahan dan pembukaan di hutan dan lahan gambut terjadi karena ekspansi area nonhutan (13 persen ke 29 persen), perkebunan atau hutan tanaman dan hutan sekunder (54 persen hingga 62 persen) akan terjadi di Sumatera dan wilayah nonhutan di Kalimantan (11 persen hingga 27 persen).
Untuk analisis emisi kebakaran hutan dan lahan serta dampak kesehatan berkaitan dengan skenario perubahan penggunaan lahan secara BAU, Liu bersama rekan-rekannya fokus pada apa yang akan terjadi di 2020 hingga Desember 2029. Emisi kumulatif dalam periode 10 tahun adalah 12,7 Teragram organic carbon (OC) plus black carbon (BC).
Untuk tiga kawasan reseptor tersebut, menghasilkan paparan rata-rata tertimbang polusi PM2.5 pada periode Juli hingga Oktober sebesar 6,6 mikrogram per meter kubik di Indonesia, 5,5 mikrogram per meter kubik di Malaysia, dan enam mikrogram per meter kubik di Singapura. Dan sekitar 36.000 orang dewasa diperkirakan akan terpapar lebih, yang menyebabkan kematian setiap tahunnya pada periode 2020-2029.
Dan untuk jumlah kematian tersebut, 92 persen terjadi di Indonesia, tujuh persen di Malaysia dan satu persen di Singapura.
Total kematian di kawasan regional juga sangat bervariasi berdasarkan kondisi meteorologi, mulai dari lebih kecil dari 100 hingga 80.000 kematian tahunan bergantung pada kondisi iklim dan cuaca di tahun tersebut. Paparan emisi kebakaran hutan dan lahan tersebut juga berkaitan dengan kematian 1.100 anak-anak di bawah usia lima tahun akibat infeksi saluran pernafasan bawah akut dengan 99 persen kasus dapat terjadi di Indonesia.
Sementara para peneliti, menurut Liu, telah memproyeksikan untuk dekade tersebut, dari 2020 hingga 2030, tren sosiodemografi menunjukkan bahwa angka-angka itu kemungkinan hanya merupakan perkiraan konservatif dari efek kesehatan untuk beberapa dekade berikutnya. Kondisi El Nino di suatu periode juga mempengaruhi angka-angka tersebut.
Bayi bernama Elsa Pitaloka meninggal dunia diduga terpapar kabut asap. Bayi berusia empat bulan itu meninggal dunia di Rumah Sakit Ar-Rasyid Palembang, Minggu (15/9), setelah mengalami sesak napas sejak Sabtu (14/9).
Orang tua bayi Elsa yang merupakan warga RT8 Dusun II, Desa Talang Buluh, Kecamatan Talang Kepala, Kabupaten Banyuasin, Sumatera Selatan, hendak melarikan buah hatinya ke Rumah Sakit Umum Pusat Dr Mohammad Hoesin Palembang sesuai rujukan dokter di Rumah Sakit Ar-Rasyid, mengingat rumah sakit tersebut tidak memiliki fasilitas alat pompa pernapasan. Namun takdir berkata lain, Elsa meninggal dunia setelah menurut dokter mengalami gagal pernapasan.
Pemerintah memang tidak tinggal diam, berbagai instansi melakukan upaya penanganan kebakaran hutan dan lahan termasuk Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang tengah menyelidiki 42 perusahaan yang empat di antaranya merupakan perkebunan asal Malaysia dan Singapura yang disegel karena diduga turut menyebabkan kebakaran hutan dan lahan di sejumlah wilayah Indonesia. Direktur Jenderal Penegakan Hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Rasio Rido Sani mengatakan penyegelan perusahaan dilakukan di Sumatera dan Kalimantan.
Kali ini jelas bukan kampanye hitam, karena dari beberapa perusahaan perkebunan kelapa sawit yang diduga melakukan pembakaran lahan salah satu perusahaan yang disegel oleh tim penegakan hukum KLHK adalah PT Adei Plantation and Industry asal Malaysia. Lahan milik perusahaan kelapa sawit itu seluas 4,25 hektare (ha) yang diduga dibakar tersebut berada di Kabupaten Pelalawan, dan kini sudah tampak bersih seperti hamparan karpet hitam.
Berdasarkan catatan ANTARA, perusahaan perkebunan kelapa sawit ini bukan kali pertama terkena kasus hukum kejahatan lingkungan. Pada 2013, Polda Riau pernah menetapkan tersangka pembakaran lahan terhadap perusahaan yang berinduk pada Holding Company Kehpong Berhand Industry Kuala Lumpur.
Mahkamah Agung telah menjatuhkan vonis denda Rp15,1 miliar yang harus digunakan untuk pemulihan lahan yang terbakar seluar 40 hektare. Namun tidak ada penetapan tersangka dari petinggi perusahaan yang dijatuhi hukuman pidana penjara.
Seperti kata Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Doni Monardo, asap kebakaran hutan dan lahan adalah pembunuh yang tidak dapat diketahui secara langsung. Maka mengabaikannya sama saja membiarkan kerusakan generasi yang akan datang.
Baca juga: Kubu Raya kembali liburkan sekolah karena kualitas udara memburuk
Baca juga: PMI kerahkan tim pertolongan pertama bantu korban kabut asap Pontianak
Menurut Kepala Seksi Pelayanan Kesehatan Primer Dinas Kesehatan Kota Dumai Hafidz Permana, setelah dilakukan pemeriksaan medis diketahui sang ibu yang ternyata menderita asma kesulitan bernafas karena menghirup asat kebakaran hutan dan lahan (karhutla) yang pekat.
Sebelum itu, Hafidz mengatakan empat siswi SMA di Kota Dumai juga harus mendapat perawatan medis setelah mengaku pusing-pusing karena terlalu banyak menghirup asap karhutla saat mengikuti proses belajar dalam kelas.
Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kota Dumai mendapat data bahwa angka indeks standar polusi udara (ISPU) saat itu berada di atas 300 PSI sehingga masuk dalam kategori berbahaya.
Rizka (23), guru Abdurrab Islamic School di Pekanbaru kolaps saat berada di sekolah pada Selasa (10/9). Asma yang dideritanya kambuh dipicu kondisi udara yang tidak sehat oleh asap karhutla.
Pembina Yayasan Abdurrab Susiana Tabrani mengatakan Rizka diselamatkan dengan digotong beramai-ramai dari lantai tiga gedung sekolah tersebut ke Rumah Sakit Eka Hospital yang untungnya tidak jauh dari sana. Guru itu terselamatkan dan menjalani perawatan intensif dengan penyokong oksigen dan ditempatkan di kamar khusus agar tidak terpapar asap lagi.
Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Riau Mimi Nazir menyebut 39.277 warga di provinsi tersebut menderita infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) akibat polusi kabut asap karhutla yang semakin pekat sejak Agustus hingga awal September ini. Saat asap mulai pekat di akhir Juli, saat itu jumlah pasien yang terserang penyakit pernafasan meningkat.
Data Dinas Kesehatan Provinsi Riau menunjukkan jumlah penderita ISPA paling banyak ada di Kota Pekanbaru mencapai lebih dari 7.377 orang, di susul Kampar sekitar 4.152 orang, Siak mencapai 4.616 orang dan Kota Dumai ada 3.932 orang.
Baca juga: Aparat memadamkan kebakaran lahan sawit di Mukomuko
Baca juga: 5.809 personel disiagakan untuk tanggulangi karhutla Riau
Ini belum selesai, karena Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika memprakirakan musim kering belum akan berlalu hingga November. Tidak ada pula yang dapat menjamin embusan angin akan menjauhkan asap karhutla pembawa bencana itu dari masyarakat yang hidup di kota hingga pelosok provinsi yang rawan terkena kabut asap.
Sebagai pengingat, data Bank Dunia 2016 menyebutkan, kebakaran hutan dan lahan di Indonesia yang terjadi dalam satu bulan yakni pada September hingga Oktober 2015 melepaskan emisi CO2 setara dengan emisi bahan bakar fosil tahunan Jepang atau India, yang menyebabkan 69 juta populasi terekspose udara tidak sehat dan membebani anggaran lebih dari 16 miliar dolar AS atau sekitar Rp232 triliun.
Perlu dicatat, jumlah tersebut 8,28 kali lipat jumlah perkiraan defisit BPJS Kesehatan selama tahun 2019 yang mencapai Rp28 triliun. Angka itupun belum memperhitungkan dampaknya terhadap kesehatan jangka panjang masyarakat ataupun keutuhan ekosistem.
Jiwa terancam
Penelitian dengan pendekatan baru dilakukan bersama sejumlah peneliti dan instansi yang tertuang dalam publikasi di GeoHealth berjudul “Fires, Smoke Exposure, and Public Health: An Integrative Freamwork to Maximise Health Benefits From Peatland Restoration”, yang mengintegrasikan informasi penyebab emisi, berpindahnya asap karhutla karena arah angin, serta jumlah populasi yang terekspose polusi udara untuk mengukur dampak kesehatan dari berbagai skenaria pengelolaan lahan.
Kerangka kerja tersebut dibuat dengan memprioritaskan lokasi restorasi gambut guna mengurangi ekspose polusi dari emisi dampak kebakaran untuk wilayah di negara yakni Indonesia, Malaysia dan Singapura, dan untuk membangun perangkat yang membantu pengambilan keputusan pemangku kepentingan dalam menetapkan potensi skenario kebijakan lainnya terkait pemecahan persoalan kebakaran hutan dan lahan di masa depan.
Kerangka kerja terintegrasi ini dapat pula diterapkan di kawasan yang rawan terjadi kebakaran hutan dan lahan di belahan Bumi manapun, untuk membangun strategi yang mampu mengurangi jumlah masyarakat yang kesehatannya dapat memburuk berkaitan dengan biomassa yang terbakar. Hal ini disampaikan oleh salah satu penelitinya dari Department of Earth and Planetary Sciences, Harvard University, Tianjia Liu.
Skenario bisnis seperti biasa layaknya yang berjalan saat ini (business as usual/BAU) pada perubahan penggunaan lahan periode 2010-2030 memproyeksikan akan adanya penurunan luasan hutan alam, hutan sekunder, bersamaan juga dengan nonhutan, perluasan perkebunan atau hutan tanaman. Di Sumatera, total tutupan hutan menurun dari 31 persen ke 24 persen dari 2010 ke 2030, dan tutupan hutan di lahan gambut akan berkurang dari 33 persen menjadi delapan persen.
Tren BAU di Kalimantan memprediksi berkurangnya tutupan hutan dari 54 persen ke 49 persen dan 45 persen ke 28 persen di hutan dan lahan gambut. Kebanyakan perubahan dan pembukaan di hutan dan lahan gambut terjadi karena ekspansi area nonhutan (13 persen ke 29 persen), perkebunan atau hutan tanaman dan hutan sekunder (54 persen hingga 62 persen) akan terjadi di Sumatera dan wilayah nonhutan di Kalimantan (11 persen hingga 27 persen).
Untuk analisis emisi kebakaran hutan dan lahan serta dampak kesehatan berkaitan dengan skenario perubahan penggunaan lahan secara BAU, Liu bersama rekan-rekannya fokus pada apa yang akan terjadi di 2020 hingga Desember 2029. Emisi kumulatif dalam periode 10 tahun adalah 12,7 Teragram organic carbon (OC) plus black carbon (BC).
Untuk tiga kawasan reseptor tersebut, menghasilkan paparan rata-rata tertimbang polusi PM2.5 pada periode Juli hingga Oktober sebesar 6,6 mikrogram per meter kubik di Indonesia, 5,5 mikrogram per meter kubik di Malaysia, dan enam mikrogram per meter kubik di Singapura. Dan sekitar 36.000 orang dewasa diperkirakan akan terpapar lebih, yang menyebabkan kematian setiap tahunnya pada periode 2020-2029.
Dan untuk jumlah kematian tersebut, 92 persen terjadi di Indonesia, tujuh persen di Malaysia dan satu persen di Singapura.
Total kematian di kawasan regional juga sangat bervariasi berdasarkan kondisi meteorologi, mulai dari lebih kecil dari 100 hingga 80.000 kematian tahunan bergantung pada kondisi iklim dan cuaca di tahun tersebut. Paparan emisi kebakaran hutan dan lahan tersebut juga berkaitan dengan kematian 1.100 anak-anak di bawah usia lima tahun akibat infeksi saluran pernafasan bawah akut dengan 99 persen kasus dapat terjadi di Indonesia.
Sementara para peneliti, menurut Liu, telah memproyeksikan untuk dekade tersebut, dari 2020 hingga 2030, tren sosiodemografi menunjukkan bahwa angka-angka itu kemungkinan hanya merupakan perkiraan konservatif dari efek kesehatan untuk beberapa dekade berikutnya. Kondisi El Nino di suatu periode juga mempengaruhi angka-angka tersebut.
Bayi bernama Elsa Pitaloka meninggal dunia diduga terpapar kabut asap. Bayi berusia empat bulan itu meninggal dunia di Rumah Sakit Ar-Rasyid Palembang, Minggu (15/9), setelah mengalami sesak napas sejak Sabtu (14/9).
Orang tua bayi Elsa yang merupakan warga RT8 Dusun II, Desa Talang Buluh, Kecamatan Talang Kepala, Kabupaten Banyuasin, Sumatera Selatan, hendak melarikan buah hatinya ke Rumah Sakit Umum Pusat Dr Mohammad Hoesin Palembang sesuai rujukan dokter di Rumah Sakit Ar-Rasyid, mengingat rumah sakit tersebut tidak memiliki fasilitas alat pompa pernapasan. Namun takdir berkata lain, Elsa meninggal dunia setelah menurut dokter mengalami gagal pernapasan.
Pemerintah memang tidak tinggal diam, berbagai instansi melakukan upaya penanganan kebakaran hutan dan lahan termasuk Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang tengah menyelidiki 42 perusahaan yang empat di antaranya merupakan perkebunan asal Malaysia dan Singapura yang disegel karena diduga turut menyebabkan kebakaran hutan dan lahan di sejumlah wilayah Indonesia. Direktur Jenderal Penegakan Hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Rasio Rido Sani mengatakan penyegelan perusahaan dilakukan di Sumatera dan Kalimantan.
Kali ini jelas bukan kampanye hitam, karena dari beberapa perusahaan perkebunan kelapa sawit yang diduga melakukan pembakaran lahan salah satu perusahaan yang disegel oleh tim penegakan hukum KLHK adalah PT Adei Plantation and Industry asal Malaysia. Lahan milik perusahaan kelapa sawit itu seluas 4,25 hektare (ha) yang diduga dibakar tersebut berada di Kabupaten Pelalawan, dan kini sudah tampak bersih seperti hamparan karpet hitam.
Berdasarkan catatan ANTARA, perusahaan perkebunan kelapa sawit ini bukan kali pertama terkena kasus hukum kejahatan lingkungan. Pada 2013, Polda Riau pernah menetapkan tersangka pembakaran lahan terhadap perusahaan yang berinduk pada Holding Company Kehpong Berhand Industry Kuala Lumpur.
Mahkamah Agung telah menjatuhkan vonis denda Rp15,1 miliar yang harus digunakan untuk pemulihan lahan yang terbakar seluar 40 hektare. Namun tidak ada penetapan tersangka dari petinggi perusahaan yang dijatuhi hukuman pidana penjara.
Seperti kata Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Doni Monardo, asap kebakaran hutan dan lahan adalah pembunuh yang tidak dapat diketahui secara langsung. Maka mengabaikannya sama saja membiarkan kerusakan generasi yang akan datang.
Baca juga: Kubu Raya kembali liburkan sekolah karena kualitas udara memburuk
Baca juga: PMI kerahkan tim pertolongan pertama bantu korban kabut asap Pontianak
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2019
Tags: