Seniman sebut Pancasila bukan narasi politik belaka, melainkan kultur
13 September 2019 11:08 WIB
Asisten I Setda Provinsi Bengkulu, Hamka Sabri, Deputi Bidang Pengendalian dan Evaluasi BPIP, Rima Agristina, serta Staf Khusus Dewan Pengarah BPIP, Lia Kian dibuka secara resmi dengan pemukulan dol (alat musik pengiring festival tabot) pada pukul 09.55 WIB di Bengkulu, Jumat (13/9/2019). ANTARA/Abdu Faisal/am.
Bengkulu (ANTARA) - Pancasila bukan hanya soal narasi politik belaka, melainkan juga narasi kultur, seniman Herdy Aswarudi selaku pembicara pada acara "Menyusuri Ajar Ibu, Dialog dan Metalog Antargenerasi Kalangan Perempuan" di Bengkulu, Jumat.
Dalam acara tersebut, Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) dikenalkan lagi kepada publik lewat instrumen seni dan budaya dalam kegiatan Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) .
Edi Bonetski (sapaan Herdy Aswarudi) melanjutkan, "Metode itu belum ada dalam teori mana pun. Bahkan, Profesor yang BPIP (Plt. Kepala BPIP Hariyono) saja bingung, saya jawab bisa begitu."
Baca juga: BPIP terus dorong semangat gotong royong untuk bangun persatuan bangsa
Penataran Pancasila bukan hanya soal hafalan dan doktrin. Hal ini, menurut dia, bisa berbahaya.
Namun, Pancasila adalah platform yang lahir secara natural.
"Itu banyak orang yang tahu tetapi tidak banyak orang yang bisa merangkainya secara hikmat, hikmah, dan nikmat," ujar Edi Bonetski.
Orang tidak boleh hanya memahami Pancasila sebagai sebatas narasi saja, karena jatuhnya nanti hanya sebagai jargon belaka.
Baca juga: BPIP khawatirkan pudarnya Pancasila pascareformasi
"Pancasila boleh diartikan dengan sesuatu yang menarik, seksi, eksotis. Biar enak untuk dinikmati begitu lo," ujar Edi Bonetski.
Acara yang dihadiri sepupu Fatmawati, Marwan Amanadin, dan kerabatnya, Razionova Gafoer, itu dibuka secara resmi dengan pemukulan dol (alat musik pengiring Festival Tabot) oleh Asisten I Setda Provinsi Bengkulu Hamka Sabri bersama Deputi Bidang Pengendalian dan Evaluasi BPIP Rima Agristina dan Staf Khusus Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila Lia Kian.
Dalam acara tersebut, Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4) dikenalkan lagi kepada publik lewat instrumen seni dan budaya dalam kegiatan Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) .
Edi Bonetski (sapaan Herdy Aswarudi) melanjutkan, "Metode itu belum ada dalam teori mana pun. Bahkan, Profesor yang BPIP (Plt. Kepala BPIP Hariyono) saja bingung, saya jawab bisa begitu."
Baca juga: BPIP terus dorong semangat gotong royong untuk bangun persatuan bangsa
Penataran Pancasila bukan hanya soal hafalan dan doktrin. Hal ini, menurut dia, bisa berbahaya.
Namun, Pancasila adalah platform yang lahir secara natural.
"Itu banyak orang yang tahu tetapi tidak banyak orang yang bisa merangkainya secara hikmat, hikmah, dan nikmat," ujar Edi Bonetski.
Orang tidak boleh hanya memahami Pancasila sebagai sebatas narasi saja, karena jatuhnya nanti hanya sebagai jargon belaka.
Baca juga: BPIP khawatirkan pudarnya Pancasila pascareformasi
"Pancasila boleh diartikan dengan sesuatu yang menarik, seksi, eksotis. Biar enak untuk dinikmati begitu lo," ujar Edi Bonetski.
Acara yang dihadiri sepupu Fatmawati, Marwan Amanadin, dan kerabatnya, Razionova Gafoer, itu dibuka secara resmi dengan pemukulan dol (alat musik pengiring Festival Tabot) oleh Asisten I Setda Provinsi Bengkulu Hamka Sabri bersama Deputi Bidang Pengendalian dan Evaluasi BPIP Rima Agristina dan Staf Khusus Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila Lia Kian.
Pewarta: Abdu Faisal
Editor: D.Dj. Kliwantoro
Copyright © ANTARA 2019
Tags: