Ketum AJI rasakan deja vu saat bahas RKHUP
11 September 2019 18:40 WIB
Ketua umum Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Abdul Manan (pertama kanan) saat menghadiri diskusi publik membahas "Ancaman RKUHP terhadap kebebasan pers" di Jakarta, Rabu (11/9/2019). (ANTARA/ Abdu Faisal)
Jakarta (ANTARA) - Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Abdul Manan merasa deja vu saat menghadiri diskusi publik yang bertemakan "Ancaman Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) terhadap kebebasan pers" di gedung Dewan Pers Jakarta.
"Saya ingat sekali, tahun lalu kita juga duduk di sini mendiskusikan hal yang sama dan poin-poinnya sama. Ternyata tidak ada perubahan dari DPR," ujar Manan, Rabu.
Baca juga: DPR didesak tunda pengesahan Rancangan KUHP
Baca juga: Pencemaran nama baik didorong masuk ranah perdata
Dikutip dari Wikipedia, deja vu, berasal dari bahasa Prancis yang secara harfiah berarti pernah dilihat. Deja vu juga diartikan sebagai fenomena merasakan sensasi kuat bahwa suatu peristiwa atau pengalaman yang saat ini sedang dialami sudah pernah dialami di masa lalu.
Manan mengatakan sudah sepuluh tahun sejak Dewan Perwakilan Rakyat pertama kali membahas RKUHP itu dan penolakan sudah terjadi berkali-kali. Namun, tiba-tiba DPR dua minggu lagi sudah mau mengesahkannya menjadi Undang-Undang (UU).
Manan mengatakan harus ada desakan ke Parlemen untuk meminta RKUHP itu dibatalkan pengesahannya sebab bergesekan dengan kebebasan pers yang diatur dalam UU Pers Nomor 40 tahun 1999.
Persoalannya, kata dia, walaupun Presiden tidak menandatangani Undang-Undang tersebut, UU tetap dapat berlaku.
"Gong-nya kita harus tetap mendesak DPR, Karena, kalau tidak salah, walaupun Presiden tidak menandatangani RKUHP ini, beberapa hari kemudian tetap dapat berlaku," ujar Manan.
Jika hal tersebut benar terjadi, maka RKHUP agar bergesekan dengan UU Pers. Ia berkaca pada saat DPR mengesahkan UU MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3), meski tidak mendapat tanda tangan Presiden, UU tersebut tetap disahkan.
"Ini sangat berbahaya sekali. Artinya, UU Pers nanti tidak menjadi instrumen lagi bagi pers di lapangan karena terbelenggu dengan KUHP," ujar Manan.
RKHUP, kata Manan, dapat mengintimidasi fungsi kritik sosial yang dilakukan pers lewat jalur pidana. "Ini berbahaya sekali dari segi kebebasan berekspresi," ujar Manan.
Baca juga: Pasal penghinaan presiden muncul lagi di RKUHP dipertanyakan
Baca juga: AJI: 10 pasal RKUHP ancam kebebasan pers
Sementara mengenai kebebasan berekspresi telah dijamin dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 Pasal 28 E ayat (2) yang menyatakan bahwa “Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya”. Selanjutnya dalam ayat (3) menyatakan “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat”.
Adapun, sejumlah pasal dalam RKUHP seperti pasal 219 tentang penyerangan kehormatan atau harkat-martabat Presiden dan Wakil Presiden yang mengancam dengan pidana maksimal 4 tahun 6 bulan dapat diartikan sebagai pelarangan berekspresi yang telah dijamin oleh UUD 1945.
Sejumlah pasal lain seperti pasal 240, 241, 243 ayat 1 dan 2 tentang penghinaan terhadap pemerintah. Pasal 247 tentang penghasutan melawan penguasa, pasal 353 ayat 1 dan 2 serta pasal 354 tentang penghinaan terhadap kekuasaan umum atau lembaga negara, serta pasal 450 ayat 1 dan 451 ayat 1 tentang tindak pidana pembukaan rahasia, semua pasal tadi ada kaitannya dengan fungsi kritik sosial yang dijalankan pers.
Ancaman pidananya pun bervariasi antara 6 bulan sampai maksimal 4 tahun penjara.
Baca juga: Komnas HAM keberatan tindak pidana khusus masuk RKUHP
Baca juga: AJI dan LBH Pers desak pasal penghinaan pengadilan RKUHP dicabut
"Saya ingat sekali, tahun lalu kita juga duduk di sini mendiskusikan hal yang sama dan poin-poinnya sama. Ternyata tidak ada perubahan dari DPR," ujar Manan, Rabu.
Baca juga: DPR didesak tunda pengesahan Rancangan KUHP
Baca juga: Pencemaran nama baik didorong masuk ranah perdata
Dikutip dari Wikipedia, deja vu, berasal dari bahasa Prancis yang secara harfiah berarti pernah dilihat. Deja vu juga diartikan sebagai fenomena merasakan sensasi kuat bahwa suatu peristiwa atau pengalaman yang saat ini sedang dialami sudah pernah dialami di masa lalu.
Manan mengatakan sudah sepuluh tahun sejak Dewan Perwakilan Rakyat pertama kali membahas RKUHP itu dan penolakan sudah terjadi berkali-kali. Namun, tiba-tiba DPR dua minggu lagi sudah mau mengesahkannya menjadi Undang-Undang (UU).
Manan mengatakan harus ada desakan ke Parlemen untuk meminta RKUHP itu dibatalkan pengesahannya sebab bergesekan dengan kebebasan pers yang diatur dalam UU Pers Nomor 40 tahun 1999.
Persoalannya, kata dia, walaupun Presiden tidak menandatangani Undang-Undang tersebut, UU tetap dapat berlaku.
"Gong-nya kita harus tetap mendesak DPR, Karena, kalau tidak salah, walaupun Presiden tidak menandatangani RKUHP ini, beberapa hari kemudian tetap dapat berlaku," ujar Manan.
Jika hal tersebut benar terjadi, maka RKHUP agar bergesekan dengan UU Pers. Ia berkaca pada saat DPR mengesahkan UU MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3), meski tidak mendapat tanda tangan Presiden, UU tersebut tetap disahkan.
"Ini sangat berbahaya sekali. Artinya, UU Pers nanti tidak menjadi instrumen lagi bagi pers di lapangan karena terbelenggu dengan KUHP," ujar Manan.
RKHUP, kata Manan, dapat mengintimidasi fungsi kritik sosial yang dilakukan pers lewat jalur pidana. "Ini berbahaya sekali dari segi kebebasan berekspresi," ujar Manan.
Baca juga: Pasal penghinaan presiden muncul lagi di RKUHP dipertanyakan
Baca juga: AJI: 10 pasal RKUHP ancam kebebasan pers
Sementara mengenai kebebasan berekspresi telah dijamin dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 Pasal 28 E ayat (2) yang menyatakan bahwa “Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya”. Selanjutnya dalam ayat (3) menyatakan “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat”.
Adapun, sejumlah pasal dalam RKUHP seperti pasal 219 tentang penyerangan kehormatan atau harkat-martabat Presiden dan Wakil Presiden yang mengancam dengan pidana maksimal 4 tahun 6 bulan dapat diartikan sebagai pelarangan berekspresi yang telah dijamin oleh UUD 1945.
Sejumlah pasal lain seperti pasal 240, 241, 243 ayat 1 dan 2 tentang penghinaan terhadap pemerintah. Pasal 247 tentang penghasutan melawan penguasa, pasal 353 ayat 1 dan 2 serta pasal 354 tentang penghinaan terhadap kekuasaan umum atau lembaga negara, serta pasal 450 ayat 1 dan 451 ayat 1 tentang tindak pidana pembukaan rahasia, semua pasal tadi ada kaitannya dengan fungsi kritik sosial yang dijalankan pers.
Ancaman pidananya pun bervariasi antara 6 bulan sampai maksimal 4 tahun penjara.
Baca juga: Komnas HAM keberatan tindak pidana khusus masuk RKUHP
Baca juga: AJI dan LBH Pers desak pasal penghinaan pengadilan RKUHP dicabut
Pewarta: Abdu Faisal
Editor: Nurul Hayat
Copyright © ANTARA 2019
Tags: