Padang, (ANTARA) - Ikatan Alumni Fakultas Hukum Universitas Bung Hatta Padang menolak upaya pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang dilakukan lewat usulan revisi Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang KPK.

"Kami menolak usulan perubahan atau revisi terhadap Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 dan mengajak semua pihak bergandengan tangan menyelamatkan KPK," kata Ketua Ikatan Alumni Fakultas Hukum Universitas Bung Hatta Padang Miko Kamal, di Padang, Senin.

Menurutnya saat belum selesai pelaksanaan pemilihan pimpinan KPK periode 2019-2024 yang mendapat banyak sorotan dari pegiat antikorupsi, di akhir masa jabatan DPR menyiapkan draf perubahan Undang Undang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) yang kontroversial.

Beberapa materi perubahan yang diusulkan DPR jelas sekali melemahkan bahkan membunuh eksistensi KPK yang selama ini dipersepsi publik sebagai lembaga penegak hukum yang paling terpercaya, ujarnya.

Ia menilai usulan pembentukan Dewan Pengawas di KPK akan melemahkan fungsi terkait pelaksanaan Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang harus mendapat persetujuan dari Dewan Pengawas

"Ini merupakan persoalan serius, karena Dewan Pengawas merupakan representasi dari Pemerintah dan DPR yang campur tangan dalam kelembagaan KPK," ujarnya pula.

Kemudian kewenangan untuk menerbitkan Surat Penghentian Penyidikan Perkara (SP3) akan menghambat eksistensi KPK dan membuka peluang diintervensinya KPK dalam melakukan penyidikan.

Padahal usulan ini sudah berkali-kali ditolak oleh Mahkamah Konstitusi pada 2003, 2006, dan 2010, katanya.

Berikutnya koordinasi dengan Kejaksaan Agung berkaitan dengan tugas penuntutan KPK merupakan suatu kemunduran.

"Bisa jadi akan ada intervensi kepada KPK dan menghambat percepatan penanganan perkara yang akan masuk fase penuntutan dan persidangan karena pada dasarnya, KPK adalah lembaga yang menggabungkan fungsi penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan dalam satu atap yang selama ini berjalan efektif," kata dia

Lalu, pasal 40 ayat (1) draf perubahan menyebutkan KPK hanya mempunyai waktu satu tahun untuk menyelesaikan penyidikan ataupun penuntutan sebuah perkara.

Padahal penanganan perkara korupsi mempunyai kerumitan sendiri dan tidak semudah yang dipikirkan oleh DPR yang harus diselesaikan dalam jangka waktu satu tahun, kata dia.
Baca juga: Komisi III DPR berharap Presiden terbitkan surpres revisi UU KPK

Selanjutnya penghapusan kewenangan KPK mengangkat penyidik juga merupakan bagian dari upaya pelemahan KPK dan putusan MK tahun 2016 sudah menegaskan kewenangan KPK untuk mengangkat penyidik di luar dari institusi kepolisian atau kejaksaan;

Kemudian KPK tidak dimungkinkan membuka kantor perwakilan di seluruh Indonesia, sementara dengan dibukanya kantor KPK di daerah kinerja KPK akan semakin maksimal;

Terakhir persyaratan untuk menjadi pimpinan KPK minimal berumur 50 tahun tanpa dasar argumentasi yang kuat.
Baca juga: Demonstrasi tolak revisi UU KPK digelar "Aliansi Arek Suroboyo"

Aturan yang berlaku sekarang, pimpinan KPK minimal berusia 40 tahun, telah membuka peluang bagi kaum muda untuk jadi pimpinan KPK yang akan menjadikan KPK menjelma menjadi lembaga penegak hukum yang enerjik, ujarnya.
Baca juga: KPK hormati perintah Presiden kepada Menkumham pelajari revisi UU KPK

Karena itu, pihaknya menolak segala bentuk pelemahan terhadap KPK dan meminta Presiden untuk tidak menyetujui dan mengesahkan perubahan Undang-Undang KPK yang diajukan DPR.

"Kepada seluruh rakyat mari bergandengan tangan menyelamatkan atau membela KPK," ujar dia mengimbau.