Menteri Yohana sebut UU Perkawinan sudah tidak relevan
9 September 2019 15:44 WIB
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Yohana Susana Yembise (tengah) bersama Deputi Tumbuh Kembang Anak Lenny N Rosalin (kiri) dan Sekretaris Kementerian Pribudiarta Nur Sitepu (kanan) saat jumpa pers tentang perubahan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang diadakan di Jakarta, Senin (9/9/2019). (ANTARA/Dewanto Samodro)
Jakarta (ANTARA) - Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Yohana Susana Yembise mengatakan batasan usia perkawinan pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sudah tidak relevan dengan situasi dan kondisi terkini.
"Tahun 1974 itu sudah berapa puluh tahun lalu. Situasinya sudah jauh berbeda dibandingkan saat ini," kata Yohana dalam jumpa pers tentang perubahan Undang-Undang Perkawinan yang diadakan di Jakarta, Senin.
Yohana mengatakan perkawinan anak-anak harus dicegah karena melanggar hak anak dan berdampak buruk bagi tumbuh kembang anak karena secara reproduksi dan psikologi mereka belum siap berkeluarga.
Baca juga: Pemerintah ajukan satu pasal dalam perubahan UU Perkawinan
Baca juga: Presiden tugaskan 4 menteri bahas perubahan UU Perkawinan
Menurut Yohana, perkawinan anak akan membuat anak menjadi korban dan merugikan bangsa Indonesia, apalagi ketika sedang menyongsong bonus demografi yang akan didapat pada 2030.
"Dampak buruk perkawinan anak bisa terjadi pada laki-laki dan perempuan, tetapi pada anak perempuan lebih rentan. Kehamilan pada usia anak akan berdampak buruk pada perempuan," tuturnya.
Yohana mengatakan kehamilan pada usia remaja memiliki peluang 4,5 kali lebih tinggi terhadap kejadian kehamilan berisiko tinggi. Selain itu, risiko kematian saat melahirkan juga dua kali lebih tinggi.
Sementara itu, Deputi Tumbuh Kembang Anak Lenny N Rosalin mengatakan Undang-Undang Perkawinan perlu segera direvisi karena Indonesia menempati peringkat atas kejadian perkawinan anak.
"Indonesia peringkat tujuh di dunia dan peringkat kedua di Asia Tenggara. Kondisinya sudah sangat memprihatinkan," katanya.
Karena itu, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, bersama kementerian/lembaga lain dan organisasi masyarakat, telah menyusun naskah akademis untuk perubahan Undang-Undang Perkawinan.
"Secara kajian teoritis, perubahan Undang-Undang Perkawinan berlandaskan hak anak, azas persamaan, azas nondiskriminasi, hak asasi manusia, dan kepentingan terbaik bagi anak," tuturnya.
Pemerintah hanya akan mengajukan satu pasal perubahan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan untuk dibahas bersama DPR, yaitu tentang batas usia minimal perkawinan.
Pemerintah akan mengusulkan batas usia perkawinan yang diizinkan disamakan antara laki-laki dan perempuan, yaitu 19 tahun. Hal itu sesuai dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Pelindungan Anak yang menyatakan usia anak adalah nol hingga 18 tahun.
Baca juga: Kementerian PPPA bakal revisi UU Perkawinan
"Tahun 1974 itu sudah berapa puluh tahun lalu. Situasinya sudah jauh berbeda dibandingkan saat ini," kata Yohana dalam jumpa pers tentang perubahan Undang-Undang Perkawinan yang diadakan di Jakarta, Senin.
Yohana mengatakan perkawinan anak-anak harus dicegah karena melanggar hak anak dan berdampak buruk bagi tumbuh kembang anak karena secara reproduksi dan psikologi mereka belum siap berkeluarga.
Baca juga: Pemerintah ajukan satu pasal dalam perubahan UU Perkawinan
Baca juga: Presiden tugaskan 4 menteri bahas perubahan UU Perkawinan
Menurut Yohana, perkawinan anak akan membuat anak menjadi korban dan merugikan bangsa Indonesia, apalagi ketika sedang menyongsong bonus demografi yang akan didapat pada 2030.
"Dampak buruk perkawinan anak bisa terjadi pada laki-laki dan perempuan, tetapi pada anak perempuan lebih rentan. Kehamilan pada usia anak akan berdampak buruk pada perempuan," tuturnya.
Yohana mengatakan kehamilan pada usia remaja memiliki peluang 4,5 kali lebih tinggi terhadap kejadian kehamilan berisiko tinggi. Selain itu, risiko kematian saat melahirkan juga dua kali lebih tinggi.
Sementara itu, Deputi Tumbuh Kembang Anak Lenny N Rosalin mengatakan Undang-Undang Perkawinan perlu segera direvisi karena Indonesia menempati peringkat atas kejadian perkawinan anak.
"Indonesia peringkat tujuh di dunia dan peringkat kedua di Asia Tenggara. Kondisinya sudah sangat memprihatinkan," katanya.
Karena itu, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, bersama kementerian/lembaga lain dan organisasi masyarakat, telah menyusun naskah akademis untuk perubahan Undang-Undang Perkawinan.
"Secara kajian teoritis, perubahan Undang-Undang Perkawinan berlandaskan hak anak, azas persamaan, azas nondiskriminasi, hak asasi manusia, dan kepentingan terbaik bagi anak," tuturnya.
Pemerintah hanya akan mengajukan satu pasal perubahan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan untuk dibahas bersama DPR, yaitu tentang batas usia minimal perkawinan.
Pemerintah akan mengusulkan batas usia perkawinan yang diizinkan disamakan antara laki-laki dan perempuan, yaitu 19 tahun. Hal itu sesuai dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Pelindungan Anak yang menyatakan usia anak adalah nol hingga 18 tahun.
Baca juga: Kementerian PPPA bakal revisi UU Perkawinan
Pewarta: Dewanto Samodro
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2019
Tags: