Jakarta (ANTARA) - Direktur Eksekutif Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), Henri Subagiyo, meminta Presiden Joko Widodo (Jokowi) harus bersama publik melawan upaya pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

"Presiden Jokowi harus mendukung penuh upaya publik dalam melawan segala bentuk usaha pelemahan KPK," tulis Henri ketika dihubungi lewat pesan singkat di Jakarta, Minggu.

Baca juga: PSI serukan penolakan revisi UU KPK

Baca juga: Akademisi Unair tolak upaya pelemahan KPK

Baca juga: Jurnalis-Koalisi Masyarakat Sipil NTB tolak revisi UU KPK

Baca juga: Saut Situmorang usulkan pimpinan KPK ditentukan Presiden Jokowi


Ia menyoroti perkembangan situasi akhir-akhir mengenai pemberantasan korupsi sama sekali tidak menunjukkan sinyal positif terutama dalam proses seleksi calon pimpinan (capim) KPK dan revisi Undang-Undang (UU) KPK No. 30 tahun 2002.

"Seberapa kuat pun pesan publik menolak kandidat capim KPK dengan persoalan etik dan tiadanya pelaporan harta kekayaan ke Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara, nama kandidat bermasalah masih ada saja dalam daftar," tulis Henri.

Menurut dia, panitia seleksi (pansel) capim KPK bentukan Presiden sama sekali tidak mengindahkan input, kritik, serta saran dari publik.

Pansel terus melaju memberikan daftar nama yang masih berisikan kandidat dengan rekam jejak bermasalah ke Presiden yang kemudian sudah diserahkan oleh Presiden ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Sementara itu, kurang dari tiga hari sejak penyerahan nama capim KPK untuk diproses di DPR, Badan Legislasi (Baleg) mengajukan revisi UU KPK dalam Rapat Paripurna. Rencananya, revisi UU KPK akan disahkan kurang dari sebulan yaitu pada tanggal 24 September 2019.

Pengajuan revisi UU KPK sama sekali tidak mengikuti tertib peraturan perundang-undang yang berlaku yaitu UU No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

"Pasal 45 ayat 1 UU itu mengatur bahwa penyusunan RUU harus berdasarkan Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Sementara revisi UU KPK kali ini tidak tercantum dalam daftar RUU Prioritas 2019," ujar Henri.

RUU revisi UU KPK itu merupakan produk tahun 2016 setelah sebelumnya pada tahun tersebut ditunda dan dikeluarkan dalam Prolegnas tahunan sehingga tidak lagi masuk dalam Prolegnas 2017, 2018, dan 2019.

Lebih dari itu, inisiatif revisi UU KPK itu juga melanggar Peraturan Tata Tertib DPR sendiri yaitu pasal 65 ayat 1. "Seharusnya Baleg DPR mengajukan usulan perubahan Prolegnas, bukan mengajukan RUU inisiatif sendiri," tulis Henri.