Artikel
Resesi ekonomi global, ancaman eksternal yang harus diantisipasi
Oleh Ahmad Buchori
7 September 2019 06:01 WIB
Presiden Joko Widodo (tengah) memimpin rapat terbatas (ratas) di Kantor Presiden, Jakarta, Rabu (4/9/2019). Ratas itu membahas antisipasi perkembangan perekonomian dunia. ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay/foc.
Jakarta (ANTARA) - Ada ancaman baru dari perekonomian global. Setelah selama ini, bahkan hingga kini, perekonomian global tersandera perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dengan China, kini ada kabar sejumlah negara terancam dilanda resesi.
Negara-negara, seperti Turki, India, Thailand, Argentina, Singapura, bahkan Jerman, perekonomian mereka disebut-sebut terancam resesi sehubungan dengan sejumlah indikator perekonomian, antara lain ekspor, pertumbuhan industri manufaktur, dan investasi yang melemah.
Ekonomi Singapura misalnya. Negara itu dihantui resesi karena salah satu indikator ekonominya, yakni indeks aktivitas manufaktur, merosot ke angka 48,7, sedangkan Jerman pada kuartal II 2019, ekonominya mengalami kontraksi akibat pelemahan ekspor.
Saat memimpin rapat terbatas membahas antisipasi perkembangan perekonomian dunia di Kantor Presiden Jakarta, Selasa (3/9), Presiden Joko Widodo (Jokowi) mewanti-wanti perlunya Indonesia menyiapkan “payung” guna mengantisipasi terjadinya resesi tersebut.
Menurut Jokowi, perkembangan ekonomi global saat ini telah mengalami perlambatan dan kemungkinan terjadinya resesi semakin besar.
"Kalau hujannya besar, kita nggak kehujanan. Kalau gerimis kita ya nggak kehujanan, syukur nggak ada hujan dan nggak ada gerimis, tapi angka-angka menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi global sudah mengalami perlambatan dan kemungkinan resesi akan semakin besar," katanya.
Untuk itu, Presiden Jokowi minta seluruh kementerian yang berkaitan dengan ekonomi menginventarisasi regulasi yang menghambat dan memperlambat pertumbuhan ekonomi, khususnya dalam sektor investasi.
Presiden Jokowi mengungkapkan adanya informasi dari investor yang ditemui dan catatan yang disampaikan oleh Bank Dunia ada masalah internal dalam negeri yang menghambat investasi di Indonesia.
Presiden mencontohkan pada dua bulan yang lalu ada 33 perusahaan di China yang relokasi keluar negerinya. Ternyata 23 perusahaan itu memilih Vietnam sebagai tempat relokasi dan10 lainnya memilih Malaysia, Thailand, dan Kamboja.
"Nggak ada yang ke kita, tolong ini digarisbawahi. Ini berarti kita memiliki persoalan yang harus kita selesaikan," katanya.
Jokowi mengungkapkan kekalahan dari Vietnam karena negara tersebut hanya butuh dua bulan untuk mengurus investasi yang masuk dan ini berbeda dengan di Indonesia yang butuh waktu bertahun-tahun.
Belum jelas “payung” seperti apa yang perlu disiapkan pemerintah guna mengantisipasi pelemahan perekonomian global, bahkan ancaman resesi itu.
Baca juga: Presiden Jokowi: Indonesia perlu "payung" antisipasi resesi ekonomi
Namun, Badan Pusat Statistik (BPS) menilai pemerintah perlu menjadikan hilirisasi atau sektor industri pengolahan sebagai perhatian utama untuk mencapai realisasi target pertumbuhan ekonomi nasional 5,3 persen pada 2020.
Kalau target pertumbuhan itu tercapai, bisa dikatakan resesi tidak menghampiri Indonesia.
BPS juga menekankan perlunya diupayakan agar konsumsi dalam negeri dapat dipicu dan ditingkatkan dalam menjaga pertumbuhan ekonomi mengingat kondisi perekonomian global yang tidak pasti membuat ekspor sulit diandalkan.
Kepala BPS Suhariyanto pada Rapat Kerja bersama Komisi XI DPR RI di Gedung DPR/MPR Jakarta, Rabu (29/8), mengatakan pemerintah perlu membenahi industri pengolahan mengingat sektor ini menyumbang 19,5 persen dari PDB.
Menurut dia, kalau industri pengolahan bergerak naik, karena pangsanya besar sekali, yakni 19,5 persen, ada pergerakan sedikit saja dia bisa menaikkan ekonomi.
Industri pengolahan juga menyerap tenaga kerja hampir 14 persen sehingga perlambatan pada sektor ini akan berpengaruh besar pada pertumbuhan ekonomi.
Dilihat sampai kuartal II-2019, BPS menilai industri yang bergerak positif adalah sektor tekstil dan pakaian jadi serta industri kertas dan barang dari kertas. Sebaliknya, industri karet bergerak negatif.
Pemerintah harus bisa melakukan hilirisasi agar menciptakan lapangan kerja yang berpengaruh pada peningkatan pendapatan serta daya beli masyarakat.
Suhariyanto menilai pertumbuhan ekonomi sulit dicapai melalui ekspor dengan adanya ketidakpastian di tingkat global. Dengan kondisi perekonomian seperti itu, kinerja pertumbuhan ekspor diasumsikan sebesar 3,7 persen pada 2020.
Sementara itu, Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (BI) Destry Damayanti mengatakan ancaman resesi perekonomian itu patut diwaspadai karena Indonesia pasti bakal terdampak.
Namun, struktur perekonomian Indonesia berbeda dengan negara-negara yang terancam dilanda resesi, seperti Argentina, Turki, dan Singapura sehingga kemungkinan resesi hanya merupakan ancaman yang perlu diwaspadai.
Indonesia memiliki pasar domestik yang besar. Pemerintah tinggal memfokuskan kegiatan untuk memenuhi konsumsi domestik. Untuk itu perlu dilakukan, antara lain hilirisasi industri dan mendorong pertumbuhan sektor manufaktur.
Baca juga: Bekraf: Produk ekonomi kreatif dongrak daya tahan RI dari resesi
Secara sederhana resesi ekonomi dapat dipahami sebagai kelesuan ekonomi. Resesi diartikan sebagai kondisi di mana produk domestik bruto (PDB) mengalami penurunan atau pertumbuhan ekonomi riil bernilai negatif selama dua kuartal secara berturut-turut atau lebih dari satu tahun.
Resesi mengakibatkan penurunan secara simultan pada setiap aktivitas di sektor ekonomi, seperti lapangan kerja, investasi, dan juga keuntungan perusahaan.
Terjadinya resesi ekonomi menimbulkan efek domino pada masing-masing kegiatan ekonomi tersebut. Ketika investasi mengalami penurunan, maka tingkat produksi atas produk atau komoditas juga akan menurun.
Dampaknya akan terjadi banyak pengangguran akibat pemutusan hubungan kerja. Kondisi tersebut mengakibatkan daya beli masyarakat menurun yang berimbas pada turunnya keuntungan perusahaan.
Terjadinya resesi ekonomi sering kali diindikasikan dengan turunnya harga yang disebut dengan deflasi atau sebaliknya inflasi di mana harga produk atau komoditas dalam negeri mengalami peningkatan secara tajam.
Jika tak segera diatasi, resesi akan berlangsung dalam jangka waktu lama sehingga menjadi depresi ekonomi, yang bisa berakibat pada kebangkrutan ekonomi. Jika ekonomi suatu negara sudah sampai pada tahap ini maka pemulihan ekonomi akan lebih sulit dilakukan.
Kesigapan pemerintah dalam menyadari ancaman resesi perekonomian global itu patut dihargai. Diharapkan pemerintah dapat memutuskan langkah-langkah yang tepat dalam mengantisipasinya.
Apalagi sektor yang perlu diperbaiki bukan merupakan hal yang baru lagi. Sudah sering masalah itu mengemuka. Bagaimana meningkatkan investasi serta bagaimana mengembangkan hilirisasi industri, misalnya, sudah sering diwacanakan.
Baca juga: Analis: IHSG menguat seiring redanya kekhawatiran resesi ekonomi AS
Baca juga: Survei : sebagian besar masyarakat anggap Indonesia resesi
Negara-negara, seperti Turki, India, Thailand, Argentina, Singapura, bahkan Jerman, perekonomian mereka disebut-sebut terancam resesi sehubungan dengan sejumlah indikator perekonomian, antara lain ekspor, pertumbuhan industri manufaktur, dan investasi yang melemah.
Ekonomi Singapura misalnya. Negara itu dihantui resesi karena salah satu indikator ekonominya, yakni indeks aktivitas manufaktur, merosot ke angka 48,7, sedangkan Jerman pada kuartal II 2019, ekonominya mengalami kontraksi akibat pelemahan ekspor.
Saat memimpin rapat terbatas membahas antisipasi perkembangan perekonomian dunia di Kantor Presiden Jakarta, Selasa (3/9), Presiden Joko Widodo (Jokowi) mewanti-wanti perlunya Indonesia menyiapkan “payung” guna mengantisipasi terjadinya resesi tersebut.
Menurut Jokowi, perkembangan ekonomi global saat ini telah mengalami perlambatan dan kemungkinan terjadinya resesi semakin besar.
"Kalau hujannya besar, kita nggak kehujanan. Kalau gerimis kita ya nggak kehujanan, syukur nggak ada hujan dan nggak ada gerimis, tapi angka-angka menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi global sudah mengalami perlambatan dan kemungkinan resesi akan semakin besar," katanya.
Untuk itu, Presiden Jokowi minta seluruh kementerian yang berkaitan dengan ekonomi menginventarisasi regulasi yang menghambat dan memperlambat pertumbuhan ekonomi, khususnya dalam sektor investasi.
Presiden Jokowi mengungkapkan adanya informasi dari investor yang ditemui dan catatan yang disampaikan oleh Bank Dunia ada masalah internal dalam negeri yang menghambat investasi di Indonesia.
Presiden mencontohkan pada dua bulan yang lalu ada 33 perusahaan di China yang relokasi keluar negerinya. Ternyata 23 perusahaan itu memilih Vietnam sebagai tempat relokasi dan10 lainnya memilih Malaysia, Thailand, dan Kamboja.
"Nggak ada yang ke kita, tolong ini digarisbawahi. Ini berarti kita memiliki persoalan yang harus kita selesaikan," katanya.
Jokowi mengungkapkan kekalahan dari Vietnam karena negara tersebut hanya butuh dua bulan untuk mengurus investasi yang masuk dan ini berbeda dengan di Indonesia yang butuh waktu bertahun-tahun.
Belum jelas “payung” seperti apa yang perlu disiapkan pemerintah guna mengantisipasi pelemahan perekonomian global, bahkan ancaman resesi itu.
Baca juga: Presiden Jokowi: Indonesia perlu "payung" antisipasi resesi ekonomi
Namun, Badan Pusat Statistik (BPS) menilai pemerintah perlu menjadikan hilirisasi atau sektor industri pengolahan sebagai perhatian utama untuk mencapai realisasi target pertumbuhan ekonomi nasional 5,3 persen pada 2020.
Kalau target pertumbuhan itu tercapai, bisa dikatakan resesi tidak menghampiri Indonesia.
BPS juga menekankan perlunya diupayakan agar konsumsi dalam negeri dapat dipicu dan ditingkatkan dalam menjaga pertumbuhan ekonomi mengingat kondisi perekonomian global yang tidak pasti membuat ekspor sulit diandalkan.
Kepala BPS Suhariyanto pada Rapat Kerja bersama Komisi XI DPR RI di Gedung DPR/MPR Jakarta, Rabu (29/8), mengatakan pemerintah perlu membenahi industri pengolahan mengingat sektor ini menyumbang 19,5 persen dari PDB.
Menurut dia, kalau industri pengolahan bergerak naik, karena pangsanya besar sekali, yakni 19,5 persen, ada pergerakan sedikit saja dia bisa menaikkan ekonomi.
Industri pengolahan juga menyerap tenaga kerja hampir 14 persen sehingga perlambatan pada sektor ini akan berpengaruh besar pada pertumbuhan ekonomi.
Dilihat sampai kuartal II-2019, BPS menilai industri yang bergerak positif adalah sektor tekstil dan pakaian jadi serta industri kertas dan barang dari kertas. Sebaliknya, industri karet bergerak negatif.
Pemerintah harus bisa melakukan hilirisasi agar menciptakan lapangan kerja yang berpengaruh pada peningkatan pendapatan serta daya beli masyarakat.
Suhariyanto menilai pertumbuhan ekonomi sulit dicapai melalui ekspor dengan adanya ketidakpastian di tingkat global. Dengan kondisi perekonomian seperti itu, kinerja pertumbuhan ekspor diasumsikan sebesar 3,7 persen pada 2020.
Sementara itu, Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (BI) Destry Damayanti mengatakan ancaman resesi perekonomian itu patut diwaspadai karena Indonesia pasti bakal terdampak.
Namun, struktur perekonomian Indonesia berbeda dengan negara-negara yang terancam dilanda resesi, seperti Argentina, Turki, dan Singapura sehingga kemungkinan resesi hanya merupakan ancaman yang perlu diwaspadai.
Indonesia memiliki pasar domestik yang besar. Pemerintah tinggal memfokuskan kegiatan untuk memenuhi konsumsi domestik. Untuk itu perlu dilakukan, antara lain hilirisasi industri dan mendorong pertumbuhan sektor manufaktur.
Baca juga: Bekraf: Produk ekonomi kreatif dongrak daya tahan RI dari resesi
Secara sederhana resesi ekonomi dapat dipahami sebagai kelesuan ekonomi. Resesi diartikan sebagai kondisi di mana produk domestik bruto (PDB) mengalami penurunan atau pertumbuhan ekonomi riil bernilai negatif selama dua kuartal secara berturut-turut atau lebih dari satu tahun.
Resesi mengakibatkan penurunan secara simultan pada setiap aktivitas di sektor ekonomi, seperti lapangan kerja, investasi, dan juga keuntungan perusahaan.
Terjadinya resesi ekonomi menimbulkan efek domino pada masing-masing kegiatan ekonomi tersebut. Ketika investasi mengalami penurunan, maka tingkat produksi atas produk atau komoditas juga akan menurun.
Dampaknya akan terjadi banyak pengangguran akibat pemutusan hubungan kerja. Kondisi tersebut mengakibatkan daya beli masyarakat menurun yang berimbas pada turunnya keuntungan perusahaan.
Terjadinya resesi ekonomi sering kali diindikasikan dengan turunnya harga yang disebut dengan deflasi atau sebaliknya inflasi di mana harga produk atau komoditas dalam negeri mengalami peningkatan secara tajam.
Jika tak segera diatasi, resesi akan berlangsung dalam jangka waktu lama sehingga menjadi depresi ekonomi, yang bisa berakibat pada kebangkrutan ekonomi. Jika ekonomi suatu negara sudah sampai pada tahap ini maka pemulihan ekonomi akan lebih sulit dilakukan.
Kesigapan pemerintah dalam menyadari ancaman resesi perekonomian global itu patut dihargai. Diharapkan pemerintah dapat memutuskan langkah-langkah yang tepat dalam mengantisipasinya.
Apalagi sektor yang perlu diperbaiki bukan merupakan hal yang baru lagi. Sudah sering masalah itu mengemuka. Bagaimana meningkatkan investasi serta bagaimana mengembangkan hilirisasi industri, misalnya, sudah sering diwacanakan.
Baca juga: Analis: IHSG menguat seiring redanya kekhawatiran resesi ekonomi AS
Baca juga: Survei : sebagian besar masyarakat anggap Indonesia resesi
Editor: M. Hari Atmoko
Copyright © ANTARA 2019
Tags: