Jakarta (ANTARA) - Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad minta kepada pemerintah agar industri hasil tembakau (IHT) diatur secara adil untuk menciptakan persaingan yang sehat.

Menurutnya terbitnya Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 156/2018 sebagai revisi PMK 146/2017 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau dapat menciptakan celah yang membuat pabrikan rokok besar yang didominasi asing membayar tarif cukai murah.

"Kebijakan ini tidak hanya membuat IHT bersaing tidak sehat tetapi juga penerimaan negara tidak optimal, serta kebijakan pembatasan penggunaan tembakau tidak berhasil," ujarnya di Jakarta, Kamis.
Baca juga: Pengamat: pemerintah perlu benahi cukai industri hasil tembakau

Tauhid menyatakan, pemerintah perlu menggabungkan batasan produksi Sigaret Kretek Mesin (SKM) dan Sigaret Putih Mesin (SPM). Dengan demikian perusahaan besar akan bersaing dengan pabrikan besar, dan demikian sebaliknya. "Betapa penting mengatur level playing field (tingkat persaingan berkeadilan) yang sehat tanpa mengurangi pendapatan negara," tegas Tauhid.

Riset Indef terhadap data produksi April 2019 menunjukkan, potensi kehilangan pendapatan negara akibat pabrikan rokok besar membayar tarif cukai murah mencapai Rp 926 miliar.

Dia mengatakan, saat ini, ada ketidaksesuaian tarif cukai rokok di mana terdapat perusahaan yang tidak ingin mencapai batas produksi sigaret kretek mesin (SKM) atau SPM tiga miliar batang. Jumlah ini adalah batas minimal produksi agar sebuah perusahaan rokok membayar tarif cukai tertinggi (golongan 1).

Kebijakan menggabungkan batasan produksi SKM dan SPM, lanjut dia, bukanlah menggabungkan cukai SKM dan SPM dalam satu tarif.

Menurutnya pabrikan manapun yang jumlah produksi SKM dan SPM secara kumulatif telah mencapai tiga miliar batang harus dikenakan tarif cukai tertinggi di masing-masing kategori karena mereka termasuk perusahaan besar.
Baca juga: YLKI duga industri rokok intervensi kebijakan cukai

Berdasarkan data yang diolah INDEF, total produksi SKM dan SPM secara nasional mencapai 259,67 miliar batang. Rinciannya, SKM 242,73 miliar batang dan SPM 16,94 miliar batang.

Jika batasan produksi SKM dan SPM digabung menjadi tiga miliar batang, maka terdapat 3,6 miliar batang yang diproduksi empat perusahaan multinasional didominasi para pemain besar asing yang seharusnya dikenakan tarif cukai tertinggi (golongan 1) rokok mesin SPM sebesar Rp 625 per batang.

Data INDEF menunjukkan terdapat pabrikan besar yang memproduksi SPM sebanyak 2,9 miliar batang atau hanya 100 ribu di bawah batas 3 miliar batang agar terhindar dari cukai tertinggi dan cukup membayar tarif golongan 2 yang nilainya jauh lebih murah.

"Dia menahan produksi, lalu gantinya dia menciptakan merek baru. Padahal, kalau ditotal jumlahnya lebih dari tiga miliar batang," terang Tauhid.
Baca juga: Formasi: Kenaikan tarif cukai bisa perburuk industri hasil tembakau