Pers Indonesia dihadapkan pada dilema swasensor
5 September 2019 21:16 WIB
Direktur Utama Perum LKBN Antara Meidyatama Suryodiningrat (tengah) memberikan paparan dalam diskusi jurnalistik, di Wisma Antara, Jakarta, Kamis (5/9/2019). ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra/ama. (ANTARA/ADITYA PRADANA PUTRA)
Jakarta (ANTARA) - Pengamat media yang juga jurnalis senior, Wahyu Muryadi mengatakan pers di Indonesia saat ini dihadapkan pada dilema swasensor dalam menjalankan fungsinya sebagai media informasi, pendidikan, hiburan dan kontrol sosial.
"Ada dua mazhab soal sensor, mazhab liberal yang menentang swasensor dan mazhab konservatif yang sangat mementingkan aspek swasensor," kata Wahyu dalam diskusi Forum Pemimpin Redaksi (Pemred) bertajuk "Self Censorship and Self Restraint di Ruang Redaksi Media Massa", di Kantor Berita ANTARA, Jakarta, Kamis.
Menurut dia, swasensor bukanlah hal yang harus dijalankan secara berlebihan, namun dia meyakini kode etik jurnalistik menjadi salah satu rujukan dalam menjalankan swasensor pada media massa.
Sementara itu, Ketua Dewan Penasihat Forum Pemred Suryopratomo mengatakan pers memang memiliki tugas untuk menyampaikan informasi kepada masyarakat, namun harus dijalankan dengan melihat realitas masyarakat Indonesia saat ini.
Baca juga: Dewan Pers bentuk satgas antikekerasan terhadap jurnalis
"Saat ini sebagian masyarakat kita berpendidikan rendah, sehingga perlu ada semacam swasensor terhadap informasi yang akan disampaikan kepada publik," menurut pria yang akrab disapa Tomy.
Selebihnya, kurang dari lima persen masyarakat Indonesia yang mengenyam bangku kuliah di perguruan tinggi.
Dengan kondisi seperti ini, Tomy mengingatkan soal pentingnya swasensor.
Sebagai negara demokrasi, kata dia, pers di Indonesia memang punya kebebasan dalam menyampaikan informasi.
Baca juga: Dewan Pers dalami oknum jurnalis diduga lakukan provokasi di Papua
"Namun, pers harus punya tanggung jawab agar informasi yang disampaikannya memberi manfaat optimal bagi kemajuan masyarakat. Pers dinilainya harus memiliki kearifan intelektual," kata Tomy.
Sementara itu, Direktur Utama Perum LKBN ANTARA Meidyatama Suryodiningrat , mengatakan bahwa dalam menjalankan tugas dan fungsinya pers sudah memiliki kode etik jurnalistik dan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
"Fakta dan data merupakan yang maha penting dalam konteks self censorship, sehingga tetap dibutuhkan kearifan dan keintelektualan media dalam menjalankan tugas-tugasnya," kata Meidyatama.
Senada dengan itu, Ketua Dewan Kehormatan PWI Ilham Bintang juga menekankan pentingnya menaati kode etik jurnalistik.
Baca juga: Dewan Pers ingatkan jurnalis hati-hati menulis soal Papua
Berdasarkan survei yang pernah dilakukan Dewan Pers, Ilham mengatakan, pemahaman wartawan terhadap kode etik masih harus ditingkatkan.
Menurut Ilham, kebiasaan wartawan saat ini yang hanya mengandalkan talking news, dinilainya sebagai titik rawan pelanggaran kode etik.
"Oleh karena itu, pemahaman wartawan terhadap konteks peristiwa yang diberitakan sangat penting dilakukan," kata Ilham.
"Ada dua mazhab soal sensor, mazhab liberal yang menentang swasensor dan mazhab konservatif yang sangat mementingkan aspek swasensor," kata Wahyu dalam diskusi Forum Pemimpin Redaksi (Pemred) bertajuk "Self Censorship and Self Restraint di Ruang Redaksi Media Massa", di Kantor Berita ANTARA, Jakarta, Kamis.
Menurut dia, swasensor bukanlah hal yang harus dijalankan secara berlebihan, namun dia meyakini kode etik jurnalistik menjadi salah satu rujukan dalam menjalankan swasensor pada media massa.
Sementara itu, Ketua Dewan Penasihat Forum Pemred Suryopratomo mengatakan pers memang memiliki tugas untuk menyampaikan informasi kepada masyarakat, namun harus dijalankan dengan melihat realitas masyarakat Indonesia saat ini.
Baca juga: Dewan Pers bentuk satgas antikekerasan terhadap jurnalis
"Saat ini sebagian masyarakat kita berpendidikan rendah, sehingga perlu ada semacam swasensor terhadap informasi yang akan disampaikan kepada publik," menurut pria yang akrab disapa Tomy.
Selebihnya, kurang dari lima persen masyarakat Indonesia yang mengenyam bangku kuliah di perguruan tinggi.
Dengan kondisi seperti ini, Tomy mengingatkan soal pentingnya swasensor.
Sebagai negara demokrasi, kata dia, pers di Indonesia memang punya kebebasan dalam menyampaikan informasi.
Baca juga: Dewan Pers dalami oknum jurnalis diduga lakukan provokasi di Papua
"Namun, pers harus punya tanggung jawab agar informasi yang disampaikannya memberi manfaat optimal bagi kemajuan masyarakat. Pers dinilainya harus memiliki kearifan intelektual," kata Tomy.
Sementara itu, Direktur Utama Perum LKBN ANTARA Meidyatama Suryodiningrat , mengatakan bahwa dalam menjalankan tugas dan fungsinya pers sudah memiliki kode etik jurnalistik dan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.
"Fakta dan data merupakan yang maha penting dalam konteks self censorship, sehingga tetap dibutuhkan kearifan dan keintelektualan media dalam menjalankan tugas-tugasnya," kata Meidyatama.
Senada dengan itu, Ketua Dewan Kehormatan PWI Ilham Bintang juga menekankan pentingnya menaati kode etik jurnalistik.
Baca juga: Dewan Pers ingatkan jurnalis hati-hati menulis soal Papua
Berdasarkan survei yang pernah dilakukan Dewan Pers, Ilham mengatakan, pemahaman wartawan terhadap kode etik masih harus ditingkatkan.
Menurut Ilham, kebiasaan wartawan saat ini yang hanya mengandalkan talking news, dinilainya sebagai titik rawan pelanggaran kode etik.
"Oleh karena itu, pemahaman wartawan terhadap konteks peristiwa yang diberitakan sangat penting dilakukan," kata Ilham.
Pewarta: Aditya Pradana Putra/Royke Sinaga
Editor: Yuniardi Ferdinand
Copyright © ANTARA 2019
Tags: